Sawit Indonesia | 27 Desember 2017
Rekomendasi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tahun 2007 yang lalu bahwa peraturan perundangan lingkungan di Indonesia selalu bersifat insidental pada saat penerbitannya sebagai reaksi atas suatu hal, sifatnya formalitas dan sektoral maka BPHN merekomendasikan agar peraturan di bidang lingkungan bersifat komperhensif, kohesif dan konsisten, sedikit mengingat kebelakang sebelum terbitnya Peraturan pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 71 tahun 2014 beserta turunannya dan Peraturan Presiden tentang Badan Restorasi Gambut beserta turunannya adalah pada tahun 2015 yang lalu terjadi kebakaran hutan dan lahan yang cukup besar dan ditandatanganinya Paris Agreement terkait perubahan iklim oleh Pemerintah Republik Indonesia, sehingga nampaknya kajian BPHN sepuluh tahun lalu terkait hukum lingkungan masih dapat dijadikan acuan.
Secara objektif saat ini memang ada urgensi untuk membuat regulasi lahan gambut yang dapat secara tepat guna diimplementasikan mengingat Lahan gambut berfungsi sebagai daerah resapan air bagi daerah di bawahnya adalah daerah sekitar bagian kubah gambut (peat dome), yang dari segi topografi merupakan daerah atas dan perlu dilindungi supaya fungsi hidrologisnya dapat dipertahankan dengan fungsi hidrologisnya adalah menyerap dan menyimpan air pada musim hujan sehingga banjir akibat aliran airtanah dan limpasan permukaan (runoff) di daerah bawahnya dapat dikendalikan, dan melepasnya secara perlahan-lahan dalam bentuk aliran airtanah bawah permukaan pada musim kemarau sehingga kedalaman air tanah dapat dikendalikan dan kebakaran hutan di daerah bawahnya dapat dicegah.
Sesuai amanat dalam Undang Undang Dasar 1945 bahwa negara wajib melindungi seluruh warga negara, dalam konteks pemanfaatan lahan gambut ini bahwa negara harus hadir melalui regulasi lahan gambut yang dapat mengakomodir baik kepentingan ekonomi dan investasi maupun kepentingan konservasi mengingat jika pemanfaatan lahan gambut tidak dikelola dengan baik akan dapat mengakibatkan bencana.
Penyusunan regulasi di bidang pemanfaatan lahan gambut, mengingat potensi lahan gambut yang begitu besar maka regulasi harus dapat mendatangkan manfaat bagi sebanyak mungkin warga mengingat pemerintah (dalam hal ini melalui regulasi) harus hadir untuk melindungi warga negara dengan membuat regulasi yang dapat memberi keseimbangan antara faktor keberlangsungan investasi dan perekonomian namun juga tetap menjaga prinsip prinsip logis kepentingan konservasi sehingga negara dapat hadir melindungi seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana amanat Undang Undang Dasar 1945.
Dalam penyusunan regulasi terkait pemanfaatan lahan gambut saat perlu memperhatikan prinsip ke 13 Deklarasi Stockholm 1972 yang berbunyi : “ In order to achieve a more rational management of resources and thus to improve the environment, states should adopan integrated and co-ordinated approach to their development planning so as to ensure that development is compatible with the need to protect and improve the human environment for the benefit of their population. Konsep ini selanjutnya dikenal dengan sustaianable development yang ditindaklanjuti pada KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janerio, Brasil, pada tahun 1992, yang menegaskan mengenai konsep pembangunan berkelanjutan (sustainabilitydevelopment), Kemudian, di dalam Pertemuan Yohannesburg pada tahun 2002, memunculkan suatu prinsip baru yaitu konsep triple bottom line. Pergeseran paradigma dari single bottom line menjadi triple bottom line (people, profit and planet), sebagaimana telah diuraikan sebelumnya dilandasi dari pemikiran eksistensial, yakni bahwa keberadaan setiap subjek hukum harus dihargai sehingga dengan demikian dapat tercapai sinergi yang saling menguntungkan bagi setiap pihak.