Kompas | Senin, 19 Maret 2018
Indonesia Siap Melawan
Ekspor minyak sawit mentah asal Indonesia dihambat oleh sejumlah negara. Indonesia siap melawan karena komoditas itu menjadi andalan ekspor dan ekonomi domestik.
JAKARTA, KOMPAS Indonesia siap melawan dan menghadapi hambatan perdagangan minyak kelapa sawit mentah yang diterapkan oleh sejumlah negara. Selama ini, komoditas itu menjadi andalan ekspor Indonesia dan sumber penghidupan sekitar 22 juta jiwa penduduk.
Saat ini, ada tiga negara dan satu kawasan ekonomi yang menghambat ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan turunannya, yakni Amerika Serikat, Norwegia, India, serta Uni Eropa (UE).
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, nilai ekspor CPO dan produk turunannya mencapai 20,02 miliar dollar AS pada 2013, lalu secara berturut- turut menjadi 22,15 miliar dollar (2014), 18,61 miliar dollar (2015), 18,11 miliar dollar (2016), dan 22,77 miliar dollar AS (2017). Nilai total ekspor Indonesia pada 2017 adalah 168,73 miliar dollar dengan ekspor nonmigas 152,99 miliar dollar AS. Kontribusi CPO terhadap ekspor nonmigas sebesar 14,9 persen dan terhadap ekspor 13,5 persen.
Dari informasi dan data yang dikumpulkan Kompas sepanjang pekan lalu hingga Minggu (18/3), sejumlah pihak, seperti pemerintah, pengusaha, petani, dan peneliti, akan menghadapi serangan perdagangan terhadap CPO. Selain memberikan devisa sangat besar dan menjadi kontributor utama terhadap ekspor nonmigas, CPO menjadi andalan 22 juta jiwa penduduk yang hidup dari industri kelapa sawit.
Produksi CPO Indonesia pada 2017 mencapai sekitar 38 juta ton dengan 31 juta ton di antaranya diekspor ke sejumlah negara.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengaku telah mengirim surat dan melakukan pendekatan bilateral kepada sejumlah negara. ”Khusus UE, kami akan membawa kasus resolusi sawit UE ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO),” katanya.
Resolusi sawit itu merupakan hasil kesepakatan Parlemen UE untuk menghapus penggunaan produk kelapa sawit pada 2021 dan bahan bakar alami dengan bahan dasar tanaman bagi semua negara anggota. Parlemen Norwegia meminta Pemerintah Norwegia melarang pengadaan publik berupa produk bahan bakar nabati CPO dan produk turunannya. Sejak delapan bulan lalu, India telah tiga kali menaikkan bea masuk CPO dan produk turunannya. Saat ini, bea masuk CPO sebesar 44 persen dan produk turunannya 54 persen.
Adapun AS menuding Indonesia melakukan dumping terhadap biodiesel. Departemen Perdagangan AS (USDOC) memutuskan bea masuk imbalan biodiesel Indonesia sebesar 34,45-64,73 persen. Komisi Perdagangan Internasional AS sedang menyelidiki dugaan kerugian industri AS akibat biodiesel itu. Jika ditemukan kerugian, USDOC akan menginstruksikan Badan Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS memungut bea masuk itu.
Enggartiasto mengatakan, Indonesia melakukan tindakan balasan terhadap negara-negara yang menghambat ekspor Indonesia. ”Kami akan melayangkan surat keberatan atas resolusi sawit kepada Norwegia. Jika negara tersebut tetap melarang pengadaan publik yang berupa produk bahan bakar nabati CPO dan turunannya, kami akan menghambat ekspor ikan dari Norwegia,” katanya.
Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia Paulus Tjakrawan menuturkan, Indonesia juga memasukkan gugatan ke pengadilan perdagangan internasional AS pada 4 Februari 2018. Sebelumnya, sejumlah perusahaan asal Indonesia juga menggugat UE atas tuduhan subsidi dan dumping atas biodiesel Indonesia.
Sejak 1980
Direktur Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Hasril Hasan Siregar menjelaskan, serangan terhadap CPO telah terjadi sejak tahun 1980 ketika CPO Indonesia memasuki pasar internasional dan menjadi pesaing komoditas minyak nabati, seperti minyak bunga matahari dan minyak kedelai. Serangan makin besar ketika ekspor Indonesia mulai melonjak sejak 2006 dan menjadi eksportir nomor satu.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang yakin, kampanye negatif terhadap CPO Indonesia terkait dengan persaingan komoditas. Sejumlah isu yang diembuskan, seperti deforestasi, kebakaran hutan, sampai pekerja anak, seolah mengabaikan perbaikan yang dilakukan pemerintah, pengusaha, dan petani sawit Indonesia selama ini. Tata kelola perkebunan kelapa sawit, kata Bambang, masih perlu perbaikan. Namun, sejumlah perbaikan telah ditempuh.
Salah satu persoalan yang muncul akibat masifnya pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit adalah dampak lingkungan, antara lain perambahan kawasan hutan. Pada awal 2017, misalnya, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser merebut lagi 75 hektar kawasannya yang dirambah selama 15 tahun di Langkat, Sumatera Utara. Lahan yang ditanami kelapa sawit itu diambil alih secara persuasif dari 18 perambah.
Strategi nasional
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Joko Supriyono mengakui, Indonesia belum memiliki strategi nasional untuk menghadapi serangan terhadap komoditas sawit di pasar internasional. Gerakan itu masih tersebar, belum ada sinergi dengan semua pihak.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menyatakan, pemerintah dan pelaku usaha terus melawan kampanye negatif terhadap kelapa sawit Indonesia. ”Di dalam negeri ada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit dan di luar negeri ada CPO Fund yang turut membela kepentingan sawit Indonesia,” ujarnya. Indonesia juga menganut pengelolaan kebun dan sistem budidaya berkelanjutan melalui sertifikat ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).
Sejumlah petani mengaku berhasil menaikkan derajat ekonomi setelah berkebun kelapa sawit. Mereka antara lain Supar (60), Tugimin (57), dan Pintauli Manurung (72), warga di Kabupaten Simalungun, Sumut. Mereka adalah petani miskin dengan lahan sempit pada 1980-1990 yang kini berhasil menyekolahkan anak hingga meraih gelar sarjana.