JAKARTA, KOMPAS – Para pelaku usaha perkebunan dan industri kelapa sawit berharap parlemen RI berperan dalam memperkuat lobi dengan parlemen Eropa. Upaya ini dalam rangka mengatasi hambatan perdagangan minyak sawit di Uni Eropa.
Penundaan larangan minyak sawit dalam bauran energi di Uni Eropa menjadi momentum untuk memperkuat negosiasi dan lobi dengan pemangku kepentingan terkait perdagangan minyak sawit di Uni Eropa.
“Saat ini Indonesia masih tetap bisa menjalin bisnis dengan mitra bisnis di Uni Eropa. Ekspor produk sawit untuk biodiesel tetap bisa dilakukan,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono di Jakarta, Kamis (21/6/2018).
Namun, tantangan ekspor produk minyak sawit ke pasar Uni Eropa tetap ada. “Sebagai sesama anggota parlemen, parlemen kita perlu memperkuat lobi dan negosiasi dengan parlemen Eropa,” kata Joko.
Semula, rekomendasi pelarangan penggunaan minyak sawit berasal dari parlemen Eropa.
Komisi Eropa, Dewan Uni Eropa, dan Parlemen Eropa telah membahas arahan energi terbarukan. Dalam pembahasan itu, disepakati penundaan atau perpanjangan rencana pelarangan penggunaan minyak sawit dalam bauran energi di Uni Eropa sampai 2030.
Direktur Eksekutif Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Mahendra Siregar menilai, ada isu yang berisiko tidak sejalan dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Misalnya, ada pembatasan penggunaan biodiesel. Pembatasan kuantitatif berpotensi sebagai hambatan non-tarif yang melanggar aturan WTO.
Selain itu, lanjut Mahendra, kriteria yang digunakan Uni Eropa dalam membatasi pemakaian biodiesel bukan aturan yang diterima secara hukum internasional, sehingga berisiko melanggar WTO. Apalagi, jika kriteria itu tidak diterapkan bagi produk dalam negeri Uni Eropa.
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, DPR sudah melakukan proses lobi dan negosiasi dengan parlemen Eropa. “Kami menyampaikan Indonesia dirugikan rencana pelarangan sawit dengan alasan yang tidak masuk akal,” katanya. (FER)