BISNIS INDONESIA, JAKARTA — Kendati target ekspor nonmigas senilai US$188,7 miliar masih jauh dari realisasi, pemerintah optimistis mampu mengejarnya dengan berharap pada topangan dari penjualan komoditas andalan, seperti minyak sawit mentah dan produk otomotif.
Tahun ini, Kementerian Perdagangan mematok pertumbuhan ekspor nonmigas sebesar 11% dari realisasi tahun senilai US$169,0 miliar. Secara kumulatif, capaian ekspor nonmigas Januari—Mei 2018 baru menyentuh US$68,08miliar.
Kepala Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kemendag Kasan Muhri meyakini target ekspor nonmigas tahun ini masih bisa dicapai, karena kinerja ekspor pada semester II/2018 diperkirakan bakal lebih baik dibandingkan dengan paruh pertama tahun ini.
Lagipula, lanjutnya, capaian ekspor nonmigas secara kumulatif (Januari—Mei 2018) yang mencapai US$68.08 miliar masih lebih tinggi dibandingkan dengan pembukuan pada periode yang sama tahun lalu senilai US$62,00 miliar.
“Kami kira banyak yang sudah dan akan terus dilakukan pemerintah untuk mencapai target ekspor [tahun ini],” ujarnya saat dihubungi, Senin (25/6).
Kasan menjelaskan, pemerintah akan memanfaatkan peluang dari kondisi perang dagang antara Amerika Serikat dan China untuk mengatrol kinerja ekspor nonmigas di sepanjang sisa tahun berjalan.
Salah caranya adalah melalui pendekatan bilateral dengan kedua mitra dagang tradisional RI itu. Menurutnya, pemerintah terus melakukan lobi dengan mengusung kepentingan nasional agar komoditas andalan RI dapat mengakses pasar kedua negara.
Dengan China, lanjutnya, pemerintah akan terus mendorong ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan menerobos peluang ekspor produk otomotif pascapenurunan bea masuk produk tersebut ke pasar Negeri Panda.
Dengan AS, sebut Kasan, pemerintah akan mengupayakan agar fasilitas generalized system of preferences (GSP) untuk Indonesia tidak disetop. GSP adalah insentif bebas tarif bea masuk untuk impor produk-produk tertentu dari negara-negara berkembang, termasuk RI.
Dia menyebut, pemerintah terus berupaya memasok sepenuhnya produk-produk yang dibutuhkan Negeri Paman Sam dan tidak diproduksi oleh industri dalam negeri mereka. Beberapa komoditas yang akan dipacu ekspornya ke AS a.l. kakao, sepatu, dan pakaian jadi.
Cara lain yang akan ditempuh untuk memaksimalkan peluang ekspor di sisa tahun ini adalah mengamankan pangsa pasar Indonesia di berbagai negara tujuan utama yang masih menerapkan hambatan tarif dan nontarif.
“Upaya lainnya adalah dengan penetrasi pasar ke negara nontradisional termasuk lewat misi dagang, promosi, dan percepatan penyelesaian kerja sama bilateral dengan berbagai negara yang saat ini sedang ditangani [DPR untuk diratifikasi melalui Perpres], seperti dengan Chile.”
Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno sepakat bahwa target ekspor masih realistis untuk dicapai. Faktor penunjangnya adalah pemulihan ekonomi di mitra dagang penting seperti AS, China, dan Uni Eropa. “Masih realistis [capai target],” sebutnya.
Dari kalangan pengusaha, Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan masih optimistis ekspor CPO dan produk turunannya akan mampu mengatrol pencapaian target ekspor nonmigas tahun ini.
“Tapi harus ada satu langkah konkret untuk bisa meningkatkan ekspor [CPO] terutama ke negara nontradisional. Pada April, negara seperti Bangladesh dan [kawasan] Timur Tengah mengalami kenaikan [permintaan impor CPO],” tuturnya.
Bagaimanapun, dia tidak menampik saat ini ekspor CPO sedang mengalami tren penurunan akibat berkurangnya permintaan dari UE, China, dan India. Gapki, kata Fadhil, mengapresiasi langkah Kemendag yang terus melakukan misi dagang termasuk ke Tunisia dan Maroko.
Menurutnya, pemerintah dapat melakukan kerja sama berbentuk Preferential Trade Agreement (PTA) dengan Turki untuk mempermudah ekspor CPO ke negara itu.
Di sisi lain, Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohannes Nangoi mengatakan kinerja ekspor otomotif kumulatif tahun ini tumbuh 15% dibandingkan periode yang sama 2017, padahal ekspor otomotif RI ke Vietnam masih tertahan.
Untuk itu, dia mengharapkan seluruh pengusaha otomotif RI menjalin hubungan kuat dengan prinsipal di negara asal agar seluruh produksi di Indonesia dapat diekspor ke luar negeri.
DEFISIT
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2018 defisit US$1,52miliar. Nilai defisit ini diperoleh dari posisi neraca ekspor yang tercatat sebesar US$16,12 atau lebih rendah dibandingkan nilai neraca impor sebesar sebesarUS$17,64 miliar.
Berdasarkan tahun kalender, sepanjang Januari hingga Mei 2018, neraca perdagangan juga mengalami defisit sebesar US$2,83 miliar.
Namun, kinerja ekspor Mei tetap tumbuh dua digit, yakni naik 10,90% secara bulanan dibandingkan dengan posisi April 2018 yang US$14,54 miliar. Adapun ekspor secara tahunan tumbuh 12,47% dibandingkan dengan Mei 2017 yang US$14,33 miliar.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan defisit neraca perdagangan akan memberatkan bagi pertumbuhan ekonomi tahun ini. “Beberapa bulan ke depan, kalau melihat indikasinya, masih tertekan,” tuturnya, Senin (25/6).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan pemerintah tentu tidak ingin berlama-lama berada dalam zona defisit dagang ini.
“Defisit perdagangan harus segera selesai. Kalau tidak, apalagi dalam situasi ancam mengancam dan perang dagang yang terjadi saat ini akan semakin memengaruhi kinerja ekonomi Indonesia,” katanya, Senin (25/7).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambahkan pemerintah akan memperkuat dukungan mengenai dukungan terhadap ekspor, turisme sampai dengan industri yang menghasilkan produk substitusi impor.
“Dari kami, dari sisi apakah insentif, apakah kemudahan, apakah itu dari perpajakan, dari bea cukai, kepabeanan. Ini nanti akan kami terus follow up untuk bisa secara konkret memperbaiki kondisi,” kata Menkeu.
Ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan pemerintah harus melakukan sejumlah upaya jangka menengah dan panjang untuk menggenjot ekspor. Sejumlah solusi yang ditawarkan seperti penguatan industri dengan dukungan infrastruktur yang memadai.
Dia berharap pemerintah melakukan penguatan kerja sama dengan pasar nontradisional di Afrika dan Amerika Latin yang berpotensi menjadi penampung komoditas ekspor RI nantinya.
Adapun Direktur Center of Reform on Economic (Core) Mohammad Faisal menyebutkan pemerintah perlu melakukan transformasi ke produk manufaktur yang telah dipilih menjadi unggulan dalam ekspor.
“Langkah ini juga dilakukan oleh beberapa negara lain seperti China dan Vietnam di mana dua negara itu mulai beralih ke produk manufaktur teknologi tinggi untuk meningkatkan daya saing ekspor produknya,” kata Faisal. (Edi Suwiknyo/Yodie Hardiyan)