Neraca | Kamis, 22 November 2018
Jakarta Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) Dono Boestami mengatakan produktivitas kelapa sawit paling tinggi dibandingkan sumber minyak nabati lainnya, sehingga lahan yang digunakan lebih sedikit. “Produktivitas kelapa sawit bisa mencapai sekitar 4 ton per hektare,” ujar Dono dalam pembukaan programRegular Oil Palm Course 2018 di Jakarta, sebagaimana disalin dari laman kantor berita Antara.
Angka tersebut terbilang cukup tinggi dibandingkan produktivitas biji rapa (rapeseed) sekitar 0,7 ton per hektare, biji bunga matahari sekitar 0,6 ton per hektare, dan biji kedelai sekitar 0,4 ton per hektare.
Dari segi produktivitas, menurut dia, dapat disimpulkan bahwa kelapa sawit menjadi sumber minyak nabati yang dapat mendukung efisiensi lahan dan mendukung prinsip perkebunan berkelanjutan.
“Indonesia sekarang memberlakukan moratorium lahan, sehingga kami tidak lagi memperluas lahan tetapi lebih mengintensifkan produktivitas,” kata Dono di hadapan para peserta program Regular Oil Palm Course 2018 yang berasal dari 10 negara.
Program tersebut ditujukan untuk mempromosikan industri kelapa sawit berkelanjutan Indonesia, terutama kepada para akademisi dan perwakilan lembaga swadaya masyarakat dari Eropa.
Indonesia merupakan salah satu produsen utama kelapa sawit dengan produksi mencapai 53 persen dari total produksi dunia. Sebagai industri padat karya yang memberikan kontribusi nilai ekspor sebesar Rp240 triliun per tahun, sektor kelapa sawit memengaruhi mata pencaharian sekitar 20 juta orang Indonesia baik secara langsung inaupun tidak langsung.
Karena itu, Indonesia merasa perlu berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang pengolahan sawit kepada para peserta dari negara lain, untuk menunjukkan bahwa industri sawit Tanah Air telah mengimplementasikan prinsipprinsip keberlanjutan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.
“Sebagai sumber minyak nabati yang paling produktif dan efisien, pelaku industri sawit berkomitmen mendukung peningkatan manajemen berkelanjutan termasuk pemenuhan standar internasional,” ujarnya.
Indonesia juga telah memberlakukan sistem pengelolaan perkebunan dan industri sawit berkelanjutan (ISPO) yang sifatnya wajib bagi petani kecil maupun perusahaan besar. Dono Boestami mengatakan industri sawit dapat membantu Indonesia memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Dalam pembukaan program Regular Oil Palm Course 2018 di Jakarta, Senin, Dono menyebutkan industri sawit berkaitan dengan beberapa tujuan SDGs yakni pengurangan kemiskinan, kesehatan yang baik, pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, serta penanganan perubahaniklim. “Industri sawit memainkan peran penting dalam pencapaian SDGs,” kata Dono.
Sejak 2000, ekspansi perkebunan kelapa sawit telah membantu mengentaskan 10 juta orang dari garis kemiskinan, termasuk diantaranya 1,3 juta penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan.
Sebagai industri padat karya yang memberikan kontribusi nilai ekspor sebesar Rp240 triliun per tahun, sektor kelapa sawit memengaruhi mata pencaharian sekitar 20 juta orang Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. “Dengan estimasi setiap pekerja memiliki dua sampai tiga anggota keluarga, diperkirakan sekitar 40-60 juta orang bergantung pada industri ini,” tutur Dono.
BPDPKS memperkirakan 50 persen pelaku industri sawit adalah petani kecil, terdiri dari keluargakeluarga berpenghasilan rendah hingga menengah yang mengelola tidak lebih dari 4 hektare lahan per kepala keluarga.
Perkebunan sawit yang dikelola oleh para petani kecil ini banyak terdapat di Jambi, Riau, dan Sumatera Selatan. Industri sawit juga berkontribusi terhadap ketahanan energi, dengan mendukung penggunaan biodiesel yang diharapkan bisa menggantikan bahan bakar fosil.
Sejak 1 September 2018, Indonesia sudah mengimplementasikan program mandatori B20 dengan konsumsi biodiesel diperkirakan mencapai 4 juta kiloliter hingga akliir tahun. “Untuk tahun depan kami targetkan konsumsi biodiesel mencapai 6-7 kiloliter per tahun,” kata Dono.
Mengingat pentingnya peran industri sawit bagi pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, Indonesia berkomitmen mendukung peningkatan manajemen berkelanjutan termasuk pemenuhan standar internasional.
Sementara itu, pemerintah diminta menurunkan pungutan ekspor (PE) sawit untuk mendongkrak harga tandan buah segar (TBS) dan meningkatkan daya saing ekspor CPO di luar negeri. (munib)