Investor Daily | Rabu, 26 Desember 2018
JAKARTA PT Pertamina (Persero) telah mulai mengolah minyak sawit mentah {crude palm oil/CPOi) menjadi bahan bakar minyak (BBM) hijau {green fuel) dengan metode co-processing di Kilang Plaju, Sumatera Selatan. Pengolahan CPO dengan metode ini juga akan dilakukan di dua kilang lain milik perseroan, yakni Kilang Dumai, Cilacap, dan Balongan.
Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andriah Feby Misnah menuturkan, kilang Pertamina belum akan mengolah CPO 100%. Artinya, kilang tersebut tetap mengolah minyak mentah dari fosil dicampur dengan CPO {co-processing).
Dia menyebut, co-processing ini telah dilakukan untuk skala komersil di Kilang Plaju. “Selanjutnya, sekitar Februari-Maret mulai di Kilang Dumai,” kata dia di Jakarta, akhir pekan lalu.
Rencananya, lanjut dia, tiga kilang yang akan diuji coba mengolah CPO ini akan menghasilkan tiga jenis BBM hijau, Rincinya, Kilang Plaju yang akan mengolah CPO menjadi green fuel, Kilang Dumai menghasilkangregw diesel, dan Kilang Balongan memproduksi green avtur. Jika sukses, maka ketiga kilang ini akan mengolah CPO secara komersil pada 2022.
“Idealnya kita bangun baru, tetapi bangun baru investasinya mahal dan lama. Makanya kami coba co-processing. Pertamina akan mencoba sampai di titik mana yang paling ideal (campuran CPO), enggak ganggu sistem, investasi enggak terlalu besar, kemudian harganya layak,” jelas Feby. Untuk di Kilang Plaju, diakuinya bahwa volume CPO yang dicampur masih cukup kecil, yakni hanya 7,5% dari kapasitas unit kilang.
Dalam keterangan resminya, Direktur Pengolahan Pertamina Budi Santoso Syarif menuturkan, co-processing di Kilang Plaju sudah dijalankan sejak awal Desember. Sehingga, kilang tersebut kini sudah menghasilkan green gasoline (bensin hijau) dengan angka oktan 90 sebesar 64.500 kiloliter (KL) per bulan dan green liquefied petroleum gas {green LPG/gas minyak cair hijau) 11 ribu ton per bulan.
Co-processing, jelasnya, dilakukan di fasilitas Residue Fluid Catalytic Cracking Unit (RFCCU) Kilang Plaju berkapasitas 20 MBSD {Million Barel Steam Per Day). Adapun CPO yang digunakan adalah jenis CPO yang telah diolah dan dibersihkan getah serta baunya atau dikenal dengan nama RBDPO {Refined Bleached Deodorized Palm Oil). RBDPO tersebut kemudian dicampur dengan sumber bahan bakar fosil di kilang dan diolah dengan proses kimia sehingga menghasilkan bahan bakar bensin ramah lingkungan.
“Pencampuran langsung CPO dengan bahan bakar fosil di kilang ini secara teknis lebih sempurna dengan proses kimia, sehingga menghasilkan bahan bakar bensin dengan kualitas lebih tinggi karena nilai oktan mengalami peningkatan,” tambahnya.
Budi menambahkan, implementasi co-processing di kilang telah memberikan kontribusi positif bagi perusahaan dan negara. Pasalnya, selain menghasilkan BBM hijau berkualitas tinggi dan ramah lingkungan, metode ini berpotensi mengurangi impor minyak mentah. Selain itu, co-processing ini memiliki tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) cukup tinggi mengingat CPO diproduksi di dalam negeri.
“Upaya ini sangat mendukung pemerintah dalam mengurangi penggunaan devisa, dimana Pertamina bisa menghemat impor crude sebesar 7,36 ribu barel per hari (bph)atau dalam setahun mampu menghemat hingga US$ 160 Juta,” kata Budi.
Unit Baru
Feby mengungkapkan, selain menjalankan co-processing CPO, Pertamina juga berencana membangun unit baru yang dapat mengolah CPO 100%. Pertamina telah menggandeng Eni untuk merealisasikan rencana tersebut. Keduanya telah meneken nota kesepahaman {memorandum of understanding/MoU) salah satunya untuk potensi pengembangan kilang ramah lingkungan.
“Ini (Pertamina) masih MoU sama Eni, nanti kami lihat bagaimana mekanisme bisnisnya,” tutur dia.
Dikatakannya, rencana pembangunan unit baru itu belum final. Pihaknya belum mengetahui pasti rincian rencana ini. Pasalnya, Pertamina masih akan membahas masalah investasi dan jumlah unit yang dibangun. Sehingga, Pertamina masih harus menjalankan studi kelayakan {feasibility study/FS).
Sebelumnya, Perseroan menggandeng Eni lantaran keberhasilkannya mengkonversi kilang konvensional menjadi biorefinery di Porto Maghera pada 2014 lalu, serta menjadi pelopor konversi kilang pertama di dunia. Eni berhasil memproduksi green diesel dari hidrogen murni, yakni hydrotreated vegetable oil (HVO), bukan methanol yang biasa digunakan untuk memproduksi biodiesel. Green diesel ini memiliki komposisi hydrocarburic penuh dan kandungan energi yang sangat tinggi.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati sempat menuturkan, pengembangan kilang ini dilakukan di Dumai dan Plaju. Hal ini lantaran kedua kilang ini berdekatan dengan sumber bahan baku green fuel, yaitu kelapa sawit. Sementara optimalisasi kilang, alih-alih membangun baru, dipilih guna memperoleh biaya investasi yang lebih efisien.
“Investasi pengembangan kilang, salah satunya kilang Dumai, hanya sebesar 40% dibandingkan investasi kilang baru,” kata dia. Biasanya, investasi untuk pembuatan kilang baru butuh sekitar US$ 3,5 miliar. Kedua kilang tersebut akan menghasilkan solar hijau dan bensin hijau. Dengan konversi kilang ini, Pertamina diharapkan bisa menjadi pemimpin dalam produksi B100. “Kami berharap Pertamina sebagai batu penjuru serta pemimpin dalam mengembangkan B20 (biodiesel),” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution. (ayu)