Bisnis Indonesia | Senin, 4 Maret 2019
Minyak Sawit Indonesia mengumpulkan peneliti sekaligus akademisi untuk melawan tuduhan Uni Eropa tersebut. Pengurus Bidang Pemasaran dan Promosi Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Darmono Taniwiryono mengatakan bahwa pihaknya akan aktif dalam melawan tuduhan penggunaan lahan secara tidak langsung (Indirect Land Use Change/ ILUC) oleh Uni Eropa. Menurutnya, DMSI akan mengumpulkan para akademisi untuk membuat latar belakang yang bisa digunakan oleh pemerintah untuk melawan tuduhan tersebut.
“Ini sudah dirumuskan pada pertemuan DMSI. Kalau sebelumnya itu bersifat diplomasi. Kami akan lebih ke aspek teknis,” katanya kepada Bisnis, belum lama ini. Dia menilai bahwa tuduhan deforestasi dan penggunaan lahan lain secara tidak langsung untuk perkebunan kelapa sawit oleh Uni Eropa tidak tepat.
Menurutnya, sebelum lahan tersebut dijadikan perkebunan kelapa sawit, areal tersebut sudah digunakan untuk budi daya komoditas lain seperti industri perkayuan. Darmono menjelaskan bahwa berbagai Indonesia telah mempunyai aturan yang jelas mengenai praktik-praktik perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan, yaitu melalui sertifikasi ISPO.
Tuduhan Uni Eropa yang tertuang dalam RED II tidak terpat terkait dengan penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar nabati (biodiesel). Misalnya saja tuduhan kelapa sawit sebagai penyumbang emisi karbon yang tinggi. Darmono menjelaskan bahwa formulasi yang digunakan oleh Uni Eropa dalam merumuskan RED II terbilang diskriminatif.
Pasalnya, tanaman semusim seperti kedelai dan tanaman minyak nabati lainnya, faktor pengali dalam menentukan emisi karbon hanya satu faktor. Namun, faktor pengali untuk kelapa sawit 2,5 kali tanpa didasari dasar yang jelas.
Oleh karena itu, jumlah emisi kelapa sawit jauh lebih besar. “Kami pun sudah berupaya mereduksi emisi karbon. Melakukan methane capture pada limbah kelapa sawit dan optimalisasi pupuk kimia.
Kami juga berusaha meningkatkan produktivitas kebun rakyat. Ini sangat mendukung komitmen pemerintah mengurangi karbon seperti yang dijanjinkan,” katanya. Dia menuturkan, seiring dengan pertumbuhan penduduk, kebutuhan terhadap minyak nabati juga akan terus meningkat. Dalam hal pemenuhan kebutuhan minyak nabati, katanya, minyak kelapa sawit menjadi salah satu alternatif yang cukup tepat. Jika pengembangan sawit sebagai sumber bahan makan diganggu oleh pihak lain, menurutnya, pemerintah sulit untuk mencari tanaman pengganti yang lebih efisien.
Apalagi tanaman semusim, seperti kedelai,justru akan berdampak negatif karena membutuhkan lahan yang lebih luas. “Kami mendukung gerakan yang sudah dilakukan pemerintah. Kami berikan justifikasi dan menolak rumus yang digunakan dalam RED II,” tegasnya.
TIDAK AKURAT
Ketua Umum DMSI Derom Bangun menyimpulkan bahwa peraturan yang diusulkan dalam RED II tidak akurat dan tidak adil untuk industri minyak sawit. Akibatnya peraturan yang diusulkan tersebut tidak dapat diterima oleh produsen.
“Penghitungan angka emisi dan formulasi yang diterapkan oleh UE tidak tepat karena be lum pemah dikomunikasikan dandiverifikasi,” tegasnya. Derom menambahkan bahwa penggu naan batas waktu 2008 tidak adil untuk Indonesia, karena deforestasi untuk minyak nabati lainnya telah dimulai jauh sebelum pengembangan perkebunan kelapa sawit.
Selain itu, asumsi bahwa perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan langsung dari daerah dengan cadangan karbon tinggi adalah salah, karena itu bukan fakta aktual di Indonesia. Menurutnya, permintaan minyak nabati secara global meningkat dan kelapa sawit adalah tanaman yang paling efisien untuk memenuhi kebutuhan dunia. “Pemerintah memiliki peraturan yang kuat tentang pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia termasuk moratorium ekspansi perkebunan kelapa sawit. Oleh karena itu, pendekatan ILUC yang diterapkan oleh Uni Eropa tidak relevan dalam banyak aspek,” tegasnya.
Derom menuturkan bahwa perkebunan kelapa sawit telah menerapkan pengurangan emisi karbon melalui penangkapan gas metana. Upaya ini sesuai dengan komitmen pemerintah dalam komitmen COP 21 di Paris. Sampai dengan berita ini diturunkan sudah ada 30.482 masukan tentang draf ILUC di situs “https://ec.enropa.en”. Masukan beragam datang dari masyarakat Uni Eropa. Salah satunya adalah Julia Owens yang berasal dari Inggris.
“Anda mengatur kriteria begitu rendah sehingga Anda akhimya meninggalkan kedelai. Meskipun ada banyak bukti bahwa itu adalah salah satu penyebab utama perusakan habitat alam, terutama di Amerika Selatan. Kedelai harus dalam kategori berisiko tinggi, atau undangundang ini akan lahir tua, tidak lengkap, dan tidak efektif,” tegasnya.
Di sisi lain, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono meminta agar perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengikuti standar dan kriteria yang ditetapkan di dalam Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
“Indonesia telah mempunyai aturan yang jelas mengenai praktik-praktik berkelanjutan. Hormati dan ikuti saja ISPO karena hanya aturan itu yang berdaulat di Indonesia. Dalam ISPO, kami punya komitmen jelas, yakni mendorong petani dan industri untuk memproduksi sawit secara berkelanjutan termasuk ketaatan pada no deforestasi, no peat, no exploitation [NDPEj. Jadi, industri tidak perlu terprovokasi dengan persyaratan yang bukan ditetapkan pemerintah,” katanya.
Kasdi menjelaskan bahwa sejumlah aturan yang diterapkan dalam ISPO telah memenuhi kriteria global dalam penerapan praktik-praktik perkebunan sawit secara berkelanjutan. “Bahkan, ke depan, kami justru ingin menyederhanakan aturan, sesuai dengan masukan para pelaku usaha perkebunan termasuk petani agar bisa diikuti semua pihak,” pungkasnya.