JAKARTA – Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo) meminta pemerintah memutihkan lahan-lahan perkebunan yang masih tercatat sebagai bagian dari kawasan hutan, terutama lahan perkebunan sawit milik petani. Petani sawit rakyat telah mengolah tanah yang dimilikinya sejak lama, karena itu apabila untuk kepentingan rakyat maka sebaiknya tanah-tanah yang ditetapkan sebagai bagian dari kawasan hutan tersebut dibebaskan.
Ketua Dewan Pengawas Gapperindo Gamal Nasir mengatakan, pemutihan lahan sawit rakyat sekaligus memberikan kepastian atau legalitas atas lahan-lahan perkebunan milik petani sawit. “Kalau memang lahan petaninya bebaskan saja, putihkan, ini untuk kepastian status dan legalitas lahan petani. Pemutihan kebun petani yang katanya masuk ke kawasan hutan itu perlu dilakukan, itu usul kami, mereka kan sudah lama disitu,” kata Gamal di Jakarta, kemarin.
Senada dengan itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Alpian Arahman mengatakan, masalah legalitas lahan petani hingga saat masih menjadi momok. Untuk itu, Apkasindo akan berkoordinasi dengan pemerintah. Legalitas lahan menjadi bagian yang penting yang harus diselesaikan untuk mendukung lancarnya pelaksanaan program peremajaan kebun sawit rakyat, termasuk untuk pemenuhan syarat sawit lestari Indonesia (ISPO). Dengan begitu, UE juga tidak lagi mempunyai alasan memboikot produk sawit Indonesia. “Masalah lahan ini kami akan berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) agar lahan-lahan yang tumpang tindih segera dibebaskan. Sebab, masalah legalitas lahan ini penting,” kata Alpian.
Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto juga mengatakan, pemutihan status lahan petani memang penting dilakukan. Hanya saja, perlu peraturan yang menentukan sejumlah persyaratan sebelum petani memutihkan status lahan petani. Apabila pemutihan diiakukan maka perlu ada indikator petani kelapa sawit yang dibebaskan. Pemerintah perlu membuat indikator itu sebelum melakukan legalisasi lahan dengan mengidentifikasi dari awal. “Karena banyak orang yang mengaku petani sawit, tapi lahan mereka 30-200 hektare (ha) dan di dalam kawasan hutan. Bahkan ada yang 2.000-an hektare (ha). Selain itu, dikerjakan oleh orang lain dan mereka yang memiliki itu tidak tinggal di desa atau kebun,” kata Mansuetus.
Anggota SPKS sendiri, ujar dia, harus petani dengan kepemilikan lahan di bawah 25 ha, dikerjakan sendiri, dan tinggal di perdesaan. Selain itu, tidak terafiliasi dengan asosiasi petani sawit lainnya. Saat ini, anggota SPKS terdaftar sebanyak 52 ribu orang petani dan 211 kelompok tani. “Perlu pemutihan, tapi harus sesuai indikator, yakni petani tersebut hanya mempunyai 4 ha, tinggal di perdesaan atau di sekitar kebun. Petani itu mengelola tanah tersebut di atas 15 tahun. Penghasilan utamanya adalah sawit, bukan PNS atau aparatur negara atau pengusaha, serta mereka mengerjakan sendiri dan bukan diolah oleh orang lain,” kata Mansuetus.
Sementara itu, lanjut dia, pemerintah saat ini tengah menerapkan dua pendekatan terkait petani yang ada di dalam kawasan hutan. Untuk petani yang berada dalam kawasan hutan, sekarang pemerintah ada dua pendekatan, yakni perhutanan sosial dan reforma agraria. “Ini bukan pemutihan. Kalau pemutihan perlu ada indikator petani kelapa sawit yang perlu dibebaskan,” kata Mansuetus. (eme)