Perlawanan Indonesia terhadap diskriminasi komoditas minyak sawit atau crude palm oil (CPO) yang dilakukan Uni Eropa (UE) terus berlanjut. Bersama Malaysia yang juga negara produsen sawit, Indonesia secara resmi melayangkan surat keberatan kepada Uni Eropa terkait rencana pelarangan produk sawit untuk bahan bakar nabati (biofuel).
Surat keberatan itu diteken oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Indonesia dan Malaysia mempertanyakan pernyataan Komisi Eropa bahwa minyak sawit yang diproduksi dari dua negara tersebut tidak masuk sumber biofuel yang diproduksi secara lestari dan tidak memenuhi ketentuan Renewable Energy Directive (RED) II yang ditetapkan UE.
Di sisi lain, minyak kedelai dari sumber-sumber tertentu dinyatakan berisiko rendah, meskipun riset oleh UE sendiri menyimpulkan bahwa minyak kedelai berdampak pada deforestasi yang jauh lebih luas daripada minyak sawit.
Tidak hanya mengecam keputusan Komisi Eropa tersebut, Pemerintah Indonesia juga mengutus delegasi yang dipimpin Menko Perekonomian Darmin Nasution ke Brussels, Belgia pada 8-9 April 2019. Delegasi Indonesia ini merupakan bagian dari misi bersama (joint mission) negara-negara produsen sawit yang tergabung dalam Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC).
Tujuan utama joint mission ini untuk menyampaikan kekecewaan pemerintah RI dan dua produsen sawit lainnya, Malaysia dan Kolombia, serta melawan regulasi turunan (Delegated Act) dari kebijakan RED II yang telah diadopsi oleh Komisi Eropa pada 13 Maret 2019.
Dalam putusannya, Komisi Eropa menyimpulkan bahwa sekitar 45% dari ekspansi perkebunan kelapa sawit sejak 2008 telah menyebabkan terjadinya kerusakan hutan, lahan basah atau lahan gambut, dan pelepasan gas rumah kaca (GRK). Penggunaan bahan baku biofuel yang lebih berbahaya akan dihentikan secara bertahap mulai tahun 2019 hingga 2023 dan dikurangi menjadi nol pada 2030.
Selama dua hari berada di Brussels, para anggota delegasi dijadwalkan melakukan pertemuan dengan Komisi Eropa, Parlemen Eropa, dan Dewan Eropa, serta berbagai stakeholder yang terlibat dalam rantai pasok industri sawit di Benua Biru. Dalam pernyataan sikapnya, CPOPC menyuarakan keberatan atas diskriminasi terhadap produk kelapa sawit di Uni Eropa.
CPOPC menentang Delegated Act karena mengklasifikasikan minyak sawit sebagai sumber energi yang tidak berkelanjutan dan termasuk dalam kategori indirect land use change (ILUC) yang berisiko tinggi.
CPOPC berpendapat, Uni Eropa menggunakan Delegated Act untuk menghapus serta memberlakukan larangan impor minyak sawit ke dalam sektor energi terbarukan yang diamanatkan dan mempromosikan minyak nabati lain yang berasal dari Uni Eropa. CPOPC juga menilai klaim bahwa kebijakan ini didasarkan oleh kajian ilmiah dan berbasis lingkungan dianggap mengada-ada.
Alasannya, Uni Eropa tidak melarang penggunaan kedelai yang berdasarkan penelitian internal merupakan salah satu komoditas yang bertanggung jawab terhadap deforestasi. Karena itu, CPOPC menduga keputusan itu dipengaruhi oleh kebijakan proteksionisme sebagai bagian dari kebijakan politik dan ekonomi Uni Eropa daripada sekadar murni berdasarkan kajian ilmiah atau berbasis lingkungan semata.
CPOPC menyimpulkan kebijakan ini sebagai strategi ekonomi dan politik yang matang demi menyingkirkan minyak sawit dari pasar Uni Eropa. Sawit dan produk turunannya menjadi komoditas ekspor andalan dan penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia.
Tahun lalu, produk minyak sawit memberikan sumbangan devisa sekitar US$ 20,54 miliar. Uni Eropa –yang berjumlah 28 negara– merupakan pasar minyak sawit terbesar kedua setelah India, yakni mencapai 4,78 juta ton atau 14,93% dari total ekspor sawit nasional. Sedangkan ekspor minyak sawit ke India mencapai 6,71 juta ton (20,97%).
Peran industri sawit sangat signifikan dalam menurunkan angka kemiskinan, juga dalam penyerapan tenaga kerja. Sawit menjadi sumber mata pencaharian bagi 20 juta orang Indonesia. Mengingat pentingnya industri sawit bagi perekonomian nasional, pemerintah Indonesia akan melawan siapa pun yang menghambat perkembangan industri sawit.
Mengirimkan delegasi untuk melobi Uni Eropa sebagai langkah tepat. Langkah-langkah diplomasi atau pendekatan sawit sangat penting dilakukan agar Indonesia tidak kehilangan pangsa pasar ekspor sawit dan produk lainnya.
Kita berharap narasi dan argumentasi pembelaan yang disampaikan delegasi Indonesia bisa diterima Parlemen Eropa sebelum mereka bersidang. Terhitung sejak 13 Maret lalu, Parlemen Eropa memiliki waktu dua bulan untuk memutuskan apakah akan menerima, menolak atau tidak berpendapat terhadap keputusan Komisi Eropa. Namun, jika melihat komposisi anggota Parlemen Eropa yang mayoritas menentang minyak sawit sebagai bahan baku biofuel, sepertinya keputusan Parlemen Eropa akan condong merugikan Indonesia.
Pemerintah Indonesia akan habis-habisan membela industri sawit nasional. Mengutus delegasi ke markas Uni Eropa di Brussels merupakan upaya lanjutan setelah sebelumnya pemerintah Indonesia mengeluarkan 10 poin sikap atas langkah diskriminatif UE terhadap komoditas minyak sawit. Pemerintah juga telah menggandeng dunia usaha asal Eropa melalui pertemuan dengan International Chamber of Commerce & European Union MNCs di Kementerian Luar Negeri pada 20 Maret lalu.
Tidak hanya melalui jalur diplomasi dan forum pertemuan, pemerintah Indonesia pun membuka semua opsi untuk membela industri sawit nasional, termasuk opsi mengambil tindakan balasan (retaliasi). Pemerintah tengah mengkaji langkah untuk melakukan boikot terhadap beberapa produk Eropa sebagai pembalasan kepada Uni Eropa jika melarang produk sawit Indonesia. (*)