JAKARTA – Kalangan DPR RI mendukung kebijakan Kemenko Perekonomian yang memerintahkan perusahaan kelapa sawit untuk tidak membagikan informasi mengenai konsesi atau hak guna usaha (HGU) yang dimilikinya. Anggota Komisi II DPR Firman Subagyo mengatakan, ada gelagat buruk di balik upaya LSM yang mendesak dibukanya informasi mengenai HGU tersebut. “Di balik ini semua ada konspirasi politik bisnis. Ini kejahatan ekonomi. Jadi tidak semua dokumen itu bisa dibuka bulat-bulat kepada pihak tertentu, kita lihat dulu pokok persoalannya,” ujar Firman.
Menurut Firman, walaupun Indonesia telah memiliki UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), namun tidak serta merta informasi soal HGU itu bisa dibuka untuk umum. “Sebab kalau dibuka akan berakibat buruk pada perekonomian nasional. Apalagi ini yang minta LSM berkedok lingkungan yang selama ini kita tahu mereka bekerja untuk kepentingan asing,” kata dia. Mencuatnya isu HGU ini karena ada konspirasi kejahatan ekonomi dengan pelaku usaha tertentu yang tujuannya menghancurkan pihak-pihak lain. “Ini tidak boleh dan ini merupakan kejahatan ekonomi. Kalau kejahatan ekonomi itu ada sanksi pidananya,” ujar Firman.
Karena itu, Firman minta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mengaudit keberadaan LSM asing tersebut. Sebab baik LSM asing maupun perusahaan asing ketika mereka melakukan kegiatan operasional di negara manapun, dia harus tunduk dan patuh dengan regulasi yang ada di negara di mana dia melakukan kegiatan. “Ketika mereka itu tidak menaati regulasi yang berlaku di Indonesia maka kita bisa usir mereka dari Indonesia.
Sementara untuk perusahaan nasional yang melakukan konspirasi tersebut diberi sanksi juga, kalau perlu izin usahanya dicabut,” kata Firman seperti dilansir Antara di Jakarta, kemarin. Sementara itu, Dosen Fakultas Kehutanan IPB Sudarsono Soedomo mengatakan, informasi soal HGU masuk ranah privat. Dengan begitu, tidak semua orang bisa dengan sembarangan mendapatkan informasi soal HGU. “Benar memang tanah yang dikelola swasta tersebut merupakan tanah negara yang bersifat publik. Namun pengelolaannya sudah diberikan kepada swasta, paling tidak selama 30 tahun, itu sudah masuk ranah privat,” kata Sudarsono. (tl)
Source – Investor Daily