Jakarta – Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati mengatakan ekspor di Uni Eropa standamya terlalu tinggi untuk negara yang masih berkembang seperti Indonesia. “Kalau memang Eropa serius melakukan kerjasama, itu dulu dilakukan penyesuaian,” ujamya di Jakarta, Rabu (24/7).
Kemudian produk-produk yang berbasis CPO, karena Indonesia baru bisa melakukan hilirisasi industri pada sektor itu, Uni Eropa harus mengerti. Industri-industri yang lain masih proses perjalanan.
Enny mengatakan kesuksesan Indonesia melakukan kerja sama CEPA dengan Australia seharusnya menjadi nilai tawar (bargaining) dalam perundingan. “Ini bargaining juga untuk Indonesia, katakanlah oke silakan terima sawit kami bahkan bisa lebih dalam lagi melakukan hilirisasi bisnis yang berbasis CPO. Karena akan barter dengan berbagai macam misalnya barang-barang dari Eropa untuk masuk ke Indonesia dengan sangat murah,” ujamya seperti dikutip Antara.
Tapi menurut Enny, Indonesia diancam terns dengan pencekalan CPO. Padahal sebelumnya pangsa pasar terbesar CPO sebelumnya adalah Uni Eropa. “CPO itu 30 persen ekspornya Indonesia,” tandas Enny.
Sementara itu, Wakil ketua kamar dagang Uni Eropa (Eurocham) di Indonesia, Wichard Von Harrach, mengatakan pencekalan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/ CPO) di Eropa harusnya dijawab pelaku industri dengan pembuktian kalau usaha sawit tidak merusak lingkungan. “Ini marketing individu kepada individu. Pencekalan itu soal selera pasar,” ujar Wichard.
Wichard mengerti kalau minyak kelapa sawit sangat penting bagi Indonesia. “Kami juga paham adanya ketidakberlangsungan usaha merupakan kunci dari pemain industri minyak kelapa sawit. Minyak kelapa sawit juga penting untuk produk Eropa,” ujamya
Menurut dia, citra minyak kelapa sawit hams dikomunikasikan kepada konsumen di Uni Eropa. Menurut Wichard, pelaku industri kelapa sawit harus bisa menjelaskan kepada konsumen eropa tentang apa yang mereka lakukan terhadap keberlangsungan lingkungan hidup.
“Tidak bisa memaksa pemerintah di Eropa kalau orangnya hams pakai produk kamu. Kami tahu minyak kelapa sawit itu produk fantastis. Tapi kami harus melindungi lingkungan untuk anak-anak kita,” ujar Wichard. Wichard mengatakan efek dari keberlangsungan lingkungan akan membawa konsumen Eropa kembali membeli produk minyak kelapa sawit Indonesia.
Pada 2018, nilai ekspor dan impor Indonesia ke Uni Eropa masing-masing sebesar USD17,1 miliar dan USD 14,1 miliar. Adapun total perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa mencapaiUSD 31,2 miliar atau meningkat 8,29 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2017 (yoy).
Uni Eropa pun tercatat merupakan tujuan ekspor dan asal impor nonmigas terbesar ke-3 bagi Indonesia. Ekspor Indonesia ke Uni Eropa meningkat 4,59 persen dengan neraca perdagangan surplus bagi Indonesia selama kurun waktu lima tahun terakhir. Sementara nilai investasi Uni Eropa di Indonesia tercatat senilai USD3,2 miliar pada 2017.
Wichard menuturkan momentum pertumbuhan terebut perlu dijaga agar berkelanjutan. Pasalnya, Indonesia dihadapkan dengan tantangan persaingan dengan negara seperti Vietnam dan Thailand yang saat ini lebih agresif menghadirkan investasi dari UE.
Pada kesempatan Iain, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa pemerintah Indonesia menolak untuk didikte oleh pihak asing dalam pembuatan kebijakan tentang kelapa sawit. “Asing itu sudah saya katakan jangan mendikte kita. Tidak perlu kita didikte,” katanya.
Pemerintah Indonesia, menurut Menteri Luhut, bersedia menerima peluang kerja sama termasuk terhadap saran dan masukan. Namun, Indonesia tidak akan menerima niat dari pihak manapun yang hendak mendikte Indonesia. Pemerintah Indonesia juga, kata dia, bersedia untuk duduk bersama Program Lingkungan PBB UNEP, World Bank dan komunitas World Economic Forum untukmencaritahuapasajayangbisa dikerjakan bersama-sama. Menurut dia, pemerintah telah memahami permasalahan tentang kehutanan. Presiden Joko Widodo, kata dia, jugasudahmengeluarkan moratorium lahan sawit.
Source : Neraca