Ancaman tekanan pasar internasional terhadap kinerja industri sawit domestik harus menjadi perhati-an pemerintah. Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), ada beberapa sumber kejutan negatif dari pasar internasional yang mempengaruhi kinerja sawit domestik. Pertama, diadopsinya Delegated Act RED II pada Maret lalu yang membangun sentimen negatif pasar minyak sawit Indonesia di Eropa. Ekspor minvak sawit mentah (CPO) dan turunannya ke Benua Biru terus merosot.
Kedua, India, salah satu negara penting importir sawit, menaikkan tarif bea masuk minyak sawit sampai maksimum 54 persen. Kita kalah sigap oleh Malaysia, yang berhasil melakukan pendekatan ke India dengan memanfaatkan perjanjian dagang berupa Comprehensive Economic Cooperation Agreement (CECA). Dengan perjanjian itu, Malaysia mendapat diskon sehingga bea masuk refined product impornya lebih rendah (45 persen) daripada Indonesia (54 persen). Ketiga, pasar utama ekspor lain yang juga turun permintaannya adalah Cina.
Hal itu membuat pasokan sawit kelebihan,yang kemu-dian menekan harga sawit dunia. Hal ini dapat dilihat dari penurunan harga CPO, yang menurut data Bursa Derivatif Malaysia saat ini di bawah 1.900 ringgit. Ini adalah harga terendah sejak Agustus 2015.
Penurunan harga CPO ini berimbas langsung terhadap penurunan tajam harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani. Contohnya, di Kalimantan Barat, harga TBS turun menjadi Rp 600-750 per kilogram, jauh dari yang biasa diterima petani sebesar Rp 1.700-1.800 per kg. Setelah dipotong biaya operasional, harga bersih yang diterima petani sawit hanva sekitar Rp 250 per kg.
Omzet pengumpul kelapa sawit turun hingga 40 persen karena petani tidak memanen sawit, yang biaya panen dan angkut TBS-nya lebih besar daripada penerimaan penjualan sawit. Kalau fenomena ini terus berlanjut. para petani bahkan sudah menyatakan akan mengganti kebun sawit dengan komoditas lain.
Pemerintah harus mengambil langkah strategis untuk bisa mengatasi hal ini. Untuk itu, negara harus punya paradigma baru dalam melihat industri sawit. Industri sawit tidak berkaitan dengan agrobisnis semata, tapi dengan kemampuan negara membangun ketahanan energi.
Indonesia memiliki lahan yang sangat cocok untuk komoditas penting biofuel, yakni sawit. Tapi kita belum memandang sawit dari kacamata strategis geopolitik, sehingga kebijakan sawit tidak lebih hanva kebijakan sawit sebagai komoditas agribisnis.
Zat kimia alami yang memiliki struktur mirip dengan bahan bakar minyak (BBM) adalah asam lemak. Indonesia sangat kaya akan pohon-pohon potensial penghasil minyak lemak. Kita lupa bahwa ketika kita mengimpor BBM 360 ribu barel per hari, pada saat yang sama kita memproduksi 31 juta ton CPO per tahun, penghasil minyak lemak terbesar di dunia, yang setara dengan 600 ribu barel minyak bumi per hari.
Mazzucato (2013) mengatakan revolusi industri informasi dan telekomunikasi dimulai oleh negara, bukan oleh swasta, di Amerika Serikat. Penemuan Internet dilaku-kan oleh Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA), Departemen Pertahanan Amerika. Riset GPS didanai oleh Navstar, lembaga yang berada di bawah mil iter Amerika. Riset teknologi layar sentuh juga didanai oleh Badan Intelijen Pusat (CIA) dan National Science Foundation bersama peneliti Delaware University.
Pengembangan sawit harus dilandasi visi besar negara untuk menghadirkan kekuatan geopolitik Indonesia dalam ketahanan energi. Kita mengetahui bahwa ITB telah mengembangkan beberapa katalis untuk pengolahan minyak mentah dan proses produksi bahan bakar nabati dari minyak sawit. Pengembangan ini dilakukan sejak 1982. Pada 2011, ITB memproduksi katalis komersial pertama yang disebut Katalis Merah Putih. Masalahnya, riset tersebut dilakukan dalam skala yang sangat kecil karena visi besar negara belum menggerakkan riset -riset semacam ini.
Kita berharap jatuhnya harga sawit dunia dan ancaman kolapsnya industri sawit nasional menjadi pemicu untuk melihat sawit dengan kacamata dan strategi yang visioner, yakni sawit sebagai sumber bahan bakar minyak. Ketika berhasil melaku-kannya dalam skala besar, kita tidak hanya mampu menciptakan permintaan untuk produksi nasional, tapi juga menghadirkan kekuatan geopolitik nasional sebagai negara pemilik sumber energi hijau terbesar dunia.
Source : Koran Tempo