Penguasaan Indonesia atas pasar palm oil dunia, ternyata dianggap merugikan negara-negara penghasil minyak nabati lain. Terutama dari Eropa.
Indonesia merupakan produsen minyak mentah sawit terbesar di dunia. Pada 2018, Indonesia mampu mengekspor CPO dan produk turunannya sebanyak 34,71 juta ton dengan nilai ekspor mencapai USS 32,18 miliar.
Bahkan, menurut Ketua Umum Kamar Dagang & Industri Indonesia Rosan Perkasa Roeslani, industri kelapa sawit telah mampu menyerap sekitar 5,5 juta tenaga kerja langsung dan secara tidak langsung sekitar 12 juta orang.
Sayangnya, penguasaan Indonesia atas pasar palm oil dunia, ternyata dianggap merugikan negara-negara penghasil minyak nabati lain. Terutama, dari Eropa. Parahnya, untuk menghadang penguasaan pasar palm oil ini, berbagai narasi negatif dihujamkan ke industri kelapa sawit Indonesia. Mulai dari tuduhan perkebunan sawit merambah hutan, membakar hutan, tidak membesarkan perkebunan plasma, bahkan sampai tuduhan merampas lahan masyarakat.
“Isu ini bisa menghambat industri sawit Indonesia. Kami akan terus meyakinkan publik dunia bahwa Indonesia sudah berkomitmen menjalankan praktek pengelolaan hutan berkelanjutan seperti yang ditetapkan dalam MDG’s dan SDG’s, seharusnya tidak ada isu lagi bagi industri sawit Indonesia di pasar Uni Eropa,” kata Rosan, pada acara diskusi bertema “Menciptakan Industri Sawit yang Berkelanjutan” yang diselenggarakan Tempo Media Group dan Kadin Indonesia di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu, 31 Juli 2019.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution juga menyayangkan hal ini. Menurutnya, Uni Eropa begitu keras berupaya menghalangi masuknya produk kelapa sawit Indonesia, karena produk minyak nabati negaranya kalah bersaing dengan sawit. Jika diadu antara rapeseed dan sawit, rapeseed pasti kalah. Tetapi, Eropa tidak bisa menanam sawit di negaranya. “Makanya terjadi upaya habis-habisan untuk menghalangi kelapa sawit,” kata Darmin dalam diskusi yang sama.
Sebab itulah Uni Eropa terus menghadang sawit Indonesia. Salah satunya, keputusan Komisi Eropa mengeluarkan regulasi turunan (Delegated Act) dari kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II), yang mengklasifikasikan kelapa sawit sebagai komoditas bahan bakar nabati yang tidak berkelanjutan.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono menegaskan perlunya Indonesia meluruskan tudingan pihak Eropa bahwa industri sawit tidak sustainable. Joko menyatakan bahwa sawit, sebenarnya paling sustainable dibanding produk minyak nabati lain. Produktivitas sawit 6-10 kali lipat lebih tinggi dibanding minyak nabati produksi Eropa dan AS, seperti rapeseed, bunga matahari, dan soybean.
Indonesia pun telah menerapkan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO). ISPO dirancang untuk memastikan bahwa kelapa sawit Indonesia dikelola dengan Good Agricultural Practices/GAP sesuai dengan prinsip sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berkelanjutan.
Direktur Sustainability & Strategic Sinar Mas Agribusiness and Food Agus Pumomo juga menolak anggapan bahwa industri sawit Indonesia tak memberi ruang bagi petani plasma. Saat ini, Sinar Mas Agribusiness mengelola lebih dari 500 ribu hektare perkebunan sawit. “Sekitar 21 persen dari jumlah itu, merupakan perkebunan plasma,” kata Agus. Bahkan Sinar Mas berupaya memberikan asistensi teknis dan insentif keuangan bagi petani plasma.
Semuanya, merupakan bagian dari upaya untuk menciptakan industri sawit yang berkelanjutan di Indonesia. Sekaligus, mematahkan narasi negatif yang dituduhkan Eropa. TIM INFO TEMPO
Source:Tempo