Bisnis, JAKARTA — Pemerintah bersama pelaku usaha siap menempuh sejumlah langkah untuk menangkis ‘serangan baru’ dari Uni Eropa terhadap produk biodiesel asal Indonesia.
Mulai kemarin, Rabu (14/8), Komisi Eropa telah mengenakan tarif bea masuk antisubsidi (BMAS) sementara sebesar 8% — 18% terhadap bahan bakar nabati pengganti Solar (biodiesel) dari Indonesia, karena dianggap terbukti mendapatkan subsidi pemerintah. Bea masuk itu akan diterapkan selama 4 bulan dan dapat diperpanjang hingga 5 tahun.
Pengenaan BMAS atas produk biodiesel tersebut menambah deret panjang bentuk ‘serangan’ Uni Eropa terhadap produk sawit dan turunannya asal RI. Sebelumnya, Komisi Eropa mengeluarkan Delegated Act RED II yang mendiskriminasi produk sawit Indonesia.
Keputusan Komisi Eropa untuk mengenakan BMAS tersebut lantas mendapat kecaman baik dari pelaku usaha maupun Pemerintah Indonesia.
Produsen biodiesel berencana menghentikan ekspor bahan bakar nabati ke Benua Biru jika pengenaan BMAS itu membuat pengapalan biodiesel ke Uni Eropa menjadi lebih mahal.
Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengungkapkan eksportir masih menghitung dampak pengenaan bea masuk antisubsidi terhadap harga jual biodiesel di pasar Benua Biru.
“Pengenaan BMAS tiap perusahaan berbeda-beda. Kami akan lihat, kalau harga tidak sesuai , setop saja ekspor biodiesel ke UE,” katanya kepada Bisnis, Rabu (14/8).
Berdasarkan data Aprobi, produksi biodiesel Indonesia pada 2018 sebanyak 6,17 juta kiloliter (kl) dengan perincian pasar domestik 3,75 juta kl, sedangkan ekspor 1,79 juta kl. Sementara itu, volume ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa pada 2018 sebanyak 780.000 kl atau 43,58% dari total ekspor.
Menurut Paulus, jika pasar ekspor ke Uni Eropa disetop, Indonesia bisa berpaling ke pasar lain sehingga kontribusi terhadap devisa ekspor tetap terjaga. Salah satu pasar yang bisa disasar adalah China.
Selain pengalihan ekspor, produsen biodiesel juga bisa meningkatkan penyerapan di dalam negeri melalui kebijakan bauran 30% biodiesel ke dalam Solar (B30). Jika kebijakan B30 berjalan efektif, ujar Paulus, kebutuhan biodiesel di dalam negeri bisa mencapai 9 juta kiloliter (kl).
Sepanjang tahun ini, telah berlaku kebijakan bauran Solar dan 20% biodiesel (B20). Implementasi kebijakan tersebut diperkirakan mampu menyerap bahan bakar nabati dari sawit sebanyak 6 juta kl, naik signifikan dibandingkan dengan 2018 yang hanya sebanyak 3,75 juta kl.
Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Kanya Lakhsmi juga mendukung penghentian ekspor biodiesel ke Benua Biru, dan sepakat untuk mengalihkan ekspor ke negara lain serta mengoptimalkan pasar domestik.
“Kalau kita ikuti kemauan UE, tidak ada habisnya. Importir biodiesel UE memang akan teriak-teriak karena produk kita lebih murah,” ujarnya.
Di sisi lain, menurutnya, Uni Eropa akan memberikan insentif kepada produsen biodiesel domestiknya yang bersedia menggunakan minyak nabati nonsawit. “Jadi, serba sulit kalau tetap memaksakan ekspor biodiesel ke Uni Eropa.”
Namun, dia mendesak pemerintah untuk tetap melawan tudingan UE itu, sehingga dapat tetap menjaga citra produk sawit di tingkat global.
AJUKAN PROTES
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdalifah Mahmud mengatakan, Indonesia akan mengajukan protes ke Komisi Eropa atas pengenaan BMAS sementara terhadap biodiesel asal Indonesia.
“Kami sudah lakukan tahapan-tahapan awal pembelaan, baik melalui Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, dan pengacara kami. Intinya pemerintah akan perjuangkan biodiesel dari praktik diskriminasi secara tarif yang tidak berdasar ini.”
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengungkapkan pengenaan BMAS oleh Uni Eropa tersebut telah dibahas dalam rapat di Istana Wapres. “Yang pasti kami akan menyampaikan nota keberatan, dalam selisih waktu 5 hari lagi. Kemudian pengusaha nanti akan melaporkan keberatannya sesuai dengan ketentuannya,” ujar Enggar.
Tak hanya di situ, pemerintah juga mempertimbangkan untuk menempuh tindakan balasan ke Uni Eropa dengan sasaran produk olahan susu dari Benua Biru.
Enggar mengaku akan bertemu dengan para importir produk olahan susu dalam waktu dekat. “Kami juga bisa melakukan hal serupa [dengan Uni Eropa], tetapi harus ada dasarnya.”
Sebagai informasi, pemerintah sedang mempertimbangkan pengenaan tarif impor produk susu olahan dari Eropa sebesar 20%—25%.
Direktur Pengamanan Perdagangan, Kementerian Perdagangan Pradnyawati menambahkan, pemerintah sedang mempelajari putusan Uni Eropa. “Kami akan tindak lanjuti pekan ini juga.” David E. Issetiabudi
Source: Bisnis Indonesia