JAKARTA – Pelemahan ringgit dan pemulihan harga minyak kedelai Amerika Serikat menjadi pendorong harga minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) untuk menghijau.
Data Bloomberg menunjukkan, harga CPO untuk pengiriman November 2019 di Bursa Derivatif Malaysia dibuka menguat 0,23 % atau 5 poin ke posisi 2.161,00 ringgit per ton pada Selasa (20/8) , setelah sehari sebelumnya ditutup melemah 1,64% atau 36,00 poin di level 2.156,00 ringgit per ton.
Hingga pukul 13.54 WIB, harga sawit masih bertahan di zona hijau dengan menguat 0,56% atau 12,00 poin ke posisi 2.168,00 ringgit per ton.
Adapun, ringgit, mata uang dalam perdagangan sawit, turun tipis 0,1% menjadi 4,18 terhadap dolar AS, kemarin. Ringgit yang lebih lemah biasanya membuat minyak nabati lebih murah bagi pembeli asing.
Sementara itu, minyak kedelai beirangka AS di Chicago Board of tade hingga pukul 15.10 menguat 0,90 % ke posisi US$29,30 per pon.
Selanjutnya, harga minyak sawit dipengaruhi oleh pergerakan minyak nabati yang bersaing di pasar minyak nabati global.
Meskipun begitu, Wang Tao, analis pasar Reuters untuk komoditas dan energy mengatakan, harga minyak kelapa sawit bisa jatuh ke level 2.113,00 ringgit per ton karena telah menembus di bawah level support 2.160,00 ringgit per ton.
Selain itu, ekspektasi gangguan cuaca di negara produsen terbesar CPO dunia, yaitu Indonesia, juga telah mendukung harga sawit.
Dilansir dali Reuters, Selasa (20/8) , pertumbuhan produksi kelapa sawit RI diperkirakan terpukul dalam jangka pendek hingga menengah, lantaran para produsen berhadapan dengan ancaman kekeringan di seluruh wilayah penanaman. Hal ini diyakini akan menunda pematangan buah dan produksi sawit yang lebih rendah.
Kekeringan telah melanda sebagian besar pulau di Indonesia, karena dampak El Nino yang ringan. Sementara itu, puncaknya diperkirakan berlangsung dari pertengahan Agustus – pertengahan September mendatang. Selain itu, jumlah titik panas (hotspot) juga meningkat.
Kepada Reuters, empat dari tujuh produsen sawit lokal memperkirakan produksi kuartal ketiga rata-rata lebih lambat dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, karena mereka sudah melihat penundaan pematangan buah sawit. Namun, tiga produsen lainnya mengatakan, efek ini hanya akan terlihat dalam paruh pertama tahun depan.
Pinta S. Chandra, investor relations Sinar Mas Agribusiness and Food mengatakan, kekeringan yang berkepanjangan biasanya menyebabkan produksi tandah buah segar lebih rendah.
Source: Bisnis Indonesia