JAKARTA – Luas perkebunan sawit di Tanah Air yang telah mengantongi sertifikat sawit lestari Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) hingga bulan Agustus 2019 telah menyerahkan sertifikat atas 556 perusahaan, 6 koperasi swadaya, dan 4 KUD plasma dengan total areal seluas 5.185.544 hektare (ha). Di mana, luas tanaman menghasilkan (TM) seluas 2,961.293 ha, dengan produktivitas 19,07 ton tandan buah segar (TBS) per ha, total produksi mencapai 56.650.844 ton TBS per tahun. Dengan rendemen rata-rata 21,7%, setara dengan produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebanyak 12.260.641 ton per tahun.
Capaian itu, kata Kepala Sekretariat Komisi ISPO Azis Hidayat menunjukkan, implementasi percepatan sertifikasi ISPO berhasil secara signifikan. Dan, telah melampaui target Sertifikasi ISPO tahun 2019 seluas 5 juta ha.
Dia menuturkan, sebanyak 506 sertifikat diterbitkan bagi perusahaan swasta dengan luas areal 4.896.546 ha. Atau, kata dia, sekitar 63% ha dari luas total lahan kebun sawit perusahaan yang mencapai 7,788 juta ha. Sedangkan, 48 sertifikat lagi atas PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Dengan luas areal 282.762 ha, atau sekitar 40% dari total luas perkebunan sawit negara yang seluas 713 ribu ha.
“Sedangkan, Koperasi Pekebun Plasma dan -Swadaya yang telah mengantongi sertifikat ISPO ada 10, seluas 6.236 hektare. Atau, baru hanya 0,107% dari total luas areal kebun sawit rakyat yang mencapai 5,807 juta hektare,” kata Azis saat acara Penyerahan Sertifikat ISPO dan Konferensi Auditor ISPO di Jakarta, Selasa (27/8).
Kinerja Sertifikasi ISPO hingga bulan Agustus 2019, kata dia, menunjukkan partisipasi pelaku usaha perkebunan sawit semakin baik. “Sejak ISPO diimplementasikan pada bulan Maret tahun 2011 hingga hari ini, ada 746 pelaku usaha yang telah berpartisipasi memenuhi Permentan No 11/2015 tentang Sistem Sertifikasi ISPO. Terdiri dari 731 perusahaan, 11 KUD/KSU Kebun Plasma,1 Bumdes, dan 3 Koperasi/Asosiasi Kebun Swadaya,” kata dia.
Hingga 23 Agustus 2019, kata dia, jumlah Laporan Hasil Audit (LHA) yang diterima Sekretariat Komisi ISPO dari Lembaga Sertifikasi ISPO sebanyak 657 Laporan. LHA tersebut sudah diverifikasi Tim Sekretariat Komisi ISPO sebanyak 640 LHA, sedangkan yang belum diverifikasi 17 LHA.
Sampai dengan 23 Agustus 2019, telah terbit 566 Sertifikasi ISPO. Lalu, masih ada Surat Permintaan Kelengkapan Dokumen (SKPD) yang belum ditanggapi Lembaga Sertifikasi sebanyak 30 Laporan Penilaian Akhir (LPA). Juga, masih ada yang ditunda karena belum comply (memenuhi) sebanyak 44 LPA.
“Ditunda, karena masih ada prinsip dan kriteria yang belum dipenuhi. Seperti, Hak Tanah Pekebun Rakyat masih berupa Surat Keterangan Tanah (SKT), belum Sertifikat Hak Milik (SHM). Selain itu, Perpanjangan HGU belum terbit, Izin Pelepasan Kawasan Hutan belum terbit, Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat 20% belum tuntas, Sengketa Lahan belum tuntas, Kebun Pemasok belum ISPO, Perubahan, Izin Pembuangan & Pengangkutan LB3 masih proses, hingga Izin Pemanfaatan Limbah Cair masih proses,” papar Azis.
Di sisi lain, dia menambahkan, berdasarkan hasil Rapat Komisi ISPO pada bulan Desember 2018 dan Maret 2019, terdapat Sertifikat ISPO yang dicabut/dibatalkan karena tidak mampu menindaklanjuti temuan pada saat surveilance.
“Yakni, ada sebanyak 6 perusahaan seluas 34.276,72 hektare, dengan areal tanaman menghasilkan (TM) seluas 25.831,62 hektare, produksi TBS 412.650 ton per tahun, dan produksi CPO sebanyak 97.541 ton per tahun,” kata Azis.
Dengan demikian, lanjut dia, saat ini jumlah Sertifikat ISPO yang masih berlaku ada 560. Yakni, 550 sertifikat atas perusahaan, 6 sertifikat atas Koperasi Swadaya, dan 4 sertifikat atas KUD Plasma. Dengan total luas areal 5.173.358 ha, luas lahan TM 2.935.461 ha, total produksi TBS 56.238.193 ton per tahun, setara 12.163.100 ton CPO per tahun. Dengan tingkat produktivitas TBS 19,16 ton per ha per tahun dan rendemen rata-rata 21,63%.
“Sertifikasi ISPO bagi pekebun (petani) saat ini memang masih rendah. Hal itu disebabkan beberapa masalah utama, diantaranya menyangkut aspek legalitas/kepemilikan lahan yang sebagian besar berupa SKT, sebagian areal terindikasi masuk kawasan hutan, pengurusan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), keengganan membentuk koperasi pekebun, dan masalah pendanaan baik untuk pra kondisi hingga biaya audit,” ungkap Azis.
Untuk itu, lanjut dia, Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) dan Komisi ISPO berupaya meyakinkan semua pihak terkait agar lebih meningkatkan komitmen untuk bersama-sama mendukung kebijakan percepatan Sertifikasi ISPO. Dan, melaksanakan Instruksi Presiden (Inpres) No 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.
“Komisi ISPO juga mengusulkan agar biaya pra kondisi dan audit ISPO untuk pekebun dapat difasilitasi bantuan dana dari Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Alokasi dana dari BPDPKS itu diharapkan dapat membantu menyelesaikan persoalan-persoalan kelapa sawit pekebun. Mulai dari pelatihan, pendampingan saat pra kondisi, pembentukan kelembagaan, hingga proses mendapatkan Sertifikat ISPO dan bermitra dengan perusahaan besar,” tutur Azis.
Komitmen Gapki
Sementara itu, usai acara Penyerahan Sertifikat ISPO, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dipimpin oleh Ketua Umum Joko Supriyono membacakan Deklarasi Gapki dalam Mendukung Sertifikasi ISPO. Gapki menargetkan, pada tahun 2020, seluruh anggota Gapki 100% telah mengantongi sertifikat ISPO. Menurut data Sekretariat Gapki, jumlah anggota Gapki saat ini ada 725 perusahaan. Per Maret 2019, kata Joko, jumlah anggota Gapki yang telah bersertifikat ISPO ada 335 perusahaan.
Gapki berharap, Deklarasi Komitmen itu mampu memperkuat keberterimaan ISPO sebagai standar keberlanjutan internasional.
“Sertifikasi ISPO sebagai standar wajib tata kelola perkebunan sawit di Indonesia sangat penting untuk menjawab berbagai tuduhan miring terhadap sektor sawit. Agar daya saing industri sawit di pasar internasional semakin meningkat. Kalau sudah bersertifikat ISPO berarti perkebunan sawit tersebut sudah clear and clean,” kata Joko.
Di sisi lain, Joko mengharapkan, pemerintah juga membantu menyelesaikan permasalahan atau tantangan yang sedang dihadapi oleh industri kelapa sawit. “Salah satunya, tantangan kebijakan di dalam negeri sehingga lebih harmonis mendorong kemajuan industri sawit nasional. Semoga sertifikasi ISPO menciptakan sentimen positif bagi industri kelapa sawit,” ujar Joko.
Source: Investor Daily