Jakarta – Perkebunan kelapa sawit atau kelestarian hutan? Sebenarnya pernyataan tersebut bukan ditujukan untuk memilih salah satu dan meninggalkan pilihan yang lain, tetapi kenyataannya keduanya berperan banyak dan penting bagi Indonesia.
Sawit merupakan komoditas strategis bagi masyarakat Indonesia karena sektor ini telah berkontribusi pada penerimaan negara, pemerataan kesejahteraan, penyerapan tenaga kerja, dan mendorong kinerja ekspor. Namun di negara-negara Uni Eropa, komoditas ini memiliki sentimen negatif yang dihubungkan dengan isu lingkungan (deforestasi) dan kesehatan.
Deforestasi menurut FAO didefinisikan sebagai konservasi lahan hutan untuk penggunaan lahan lain atau pengurangan yang tajam dari tutupan hutan di bawah ukuran 10%.
Menurut Yanto Santosa seorang Guru Besar Institut Pertanian Bogor, perkebunan sawit yang berasal dari pengalihan hutan sekunder sebagai deforestasi, jumlah lahannya hanya berkisar 20-25% dari total lahan sawit yang ada. Sedangkan sisanya, 75-80% merupakan “reforestasi” serta terjadi peningkatan produktivitas lahan yang terdegradasi dan ini cukup untuk peningkatan stok karbon atau tingkat penyerapan CO2.
Sebenarnya, isu yang berkembang tersebut berakar dari persaingan pasar minyak nabati berbahan kelapa sawit, kedelai, biji bunga matahari, dan rapeseed flower.
Sampai saat ini pelaku usaha sawit dan pemerintah terus berupaya untuk membuktikan bahwa sawit berperan dalam menjaga kelestarian hutan. Hal itu karena areal perkebunan sawit yang tersebar di Indonesia tidak dialokasi dari kawasan hutan, melainkan dari lahan yang terdegradasi akibat penebangan dan kebakaran hutan.
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS) di Oslo, Norwegia, melaporkan Indonesia sudah mencapai beberapa aspek dari sustainable development goals (SDGs) yang merupakan program untuk menjaga lingkungan oleh PBB, seperti misalnya penanganan perubahan iklim, pengembangan energi terbarukan dan pengurangan emisi gas, mendukung moratorium hutan primer, serta mendukung pencegahan kebakaran hutan.
Begitu pula dalam hal pemulihan lahan gambut. Dari 80 perusahaan perkebunan sawit, sebanyak 49 perusahaan di antaranya telah menyusun Dokumen Rencana Pemulihan Ekosistem Gambut yang meliputi total ekosistem gambut seluas 278.639 hektare, yang terdiri dari 78.286 hektare areal Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (FLEG) dan 20.353 hektare areal Fungsi Budidaya Ekosistem Gambut.
Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Lestari Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) merupakan standar yang digunakan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia pada pasar global dan berkelanjutan.
ISPO mendorong penggunaan standar kelestarian tanaman kelapa sawit di Indonesia untuk mengurangi dampaknya pada lingkungan hidup, iklim dan keanekaragaman hayati, serta penggunaan sertifikasi untuk menjaga hutan tropis. Pemerintah terus memperbaharui standar ISPO agar diterima oleh masyarakat UE dengan tujuan menyamakan pemahaman bahwa perkebunan sawit adalah kegiatan sektor nonmigas yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Tidak hanya itu, pemerintah juga berupaya untuk membantu produsen kelapa sawit dalam mencapai standar tersebut. Pada tanggal 28 Agustus 2019, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perkebunan telah menyerahkan 64 sertifikat ISPO terdiri dari 63 perusahaan sawit dan satu koperasi dari Riau.
Untuk mempercepat penyertaan standar ISPO, pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 yang bertujuan untuk meningkatkan tata kelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, memberikan kepastian hukum, menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan, serta untuk meningkatkan pembinaan petani kelapa sawit dan meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit.
Source: https://www.wartaekonomi.co.id/read246184/indonesia-butuh-sawit-dan-hutan.html