Jika diandaikan dalam satu area perkebunan, terdapat pohon karet, sawit, kakao, dan kopi, maka di antara keempat tanaman tersebut, hanya sawit yang tampak hijau menjelang akhir tahun.
Sementara itu, tanaman-tanaman lainnya, terlihat layu. Bahkan ada yang mengering.
Begitulah kiranya gambaran dari kinerja beberapa harga komoditas agrikultur global pada kuartal IH/2019. Sama halnya dengan komoditas energi yang cenderung turun, harga komoditas pun demikian. Kembali, perang dagang antara AS dan China turut menyumbang pelemahan hargaharga komoditas ini.
Sebagai pengingat, keempat produk pertanian tersebut merupakan komoditas unggulan Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia masuk dalam jajaran produsen terbesar komoditaskomoditas tersebut.
Kelapa sawit, misalnya, Indonesia adalah produsen utama. Sementara untuk karet, kakao, dan kopi, Indonesia tercatat sebagai salah satu produsen terbesar.
Menelisik kinerja harga keempat komoditas tersebut, berdasarkan data Bloomberg, harga kopi tercatat yang paling tertekan. Harga bahan baku produk minuman ini membukukan hasil minus 12,01%.
Kemudian disused harga karet, yang terpantau melemah 3,78% pada kuartal ketiga tahun ini.
Sementara itu, harga kakao juga melemah, dengan penurunan 3,29% sepanjang kuartal IH/2019. Namun, harga minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) menguat dengan kenaikan 2,69%.
Diawali dari kopi. Penurunan harga komoditas ini salah satunya disebabkan tingginya pasokan. Mengutip laporan Organisasi Kopi Internasional (International Coffee Organization/IC) yang dirilis pada September tahun ini, produksi kopi global pada periode 2018/2019 diperkirakan tumbuh 3,7% menjadi 168,87 kantong (satu kantong setara 60 kilogram atau 130 pon).
Sementara itu, konsumsi mencapai 164,82 atau tumbuh 2,1% dibandingkan dengan periode sebelumnya. Alhasil terdapat surplus 4,05 juta kantong kopi global saat ini. Surplus inilah yang telah menyebabkan harga kopi terus melemah pada tahun ini.
Untuk karet, pelemahan harga terjadi karena dampak perang dagang yang menyebabkan permintaan berbagai komoditas dunia menurun, termasuk karet. Terlebih, China adalah importir karet alam terbesar di dunia.
Harga karet pun semakin terpuruk, setelah China baru-baru ini menunda pembelian karet di pasar fisik, sehingga mendorong harga komoditas ini menyentuh level terendah dalam 12 bulan terakhir.
Gu Jiong, analis di broker Yutaka Shoji, Tokyo, mengatakan bahwa pasar karet sedang melemah, setelah China menunda perdagangan fisik karet. Hal tersebut berdampak pada pengiriman karet hingga akhir tahun ini.
Thailand merupakan produsen utama karet dunia. Berdasarkan laporan Thailand Board of Investmen, produksi karet Negeri Gajah Putih menyumbang hampir 36% dari keseluruhan produksi karet dunia pada 2017.
Jiong menambahkan kemerosotan harga bisa memicu minat beli dari para pedagang dan produsen ban, terutama dengan perdagangan berjangka di bawah fisik.
Sementara itu, pelemahan kakao diperkirakan karena prospek panen cerah di Afrika Barat. Sebagai informasi dua negara di Afrika Barat, yaitu Pantai Gading dan Ghana merupakan produsen teratas kakao global. Setelah kedua negara itu, barulah Indonesia.
Faktor lain yang ikut melemahkan harga kakao adalah pound sterling. Sebagai mata uang transaksi kakao, penguatan pound cenderung mendukung harga bahan baku cokelat ini menguat. Sebaliknya pelemahan pound berarti penurunan harga kakao.
Untuk saat ini, pound cenderung melemah lantaran persoalan Brexit.
Adapun, perang dagang AS dan China diyakini tidak berpengaruh banyak terhadap pelemahan harga kakao, karena sisi permintaan diperkirakan masih tinggi.
MINYAK SAWIT
Adapun, saat komoditas lain memerah, harga CPO justru menuai kenaikan. Sepanjang kuartal IH/2019, ada sejumlah momentum yang memicu harga sawit untuk menguat.
Satu di antaranya adalah harga minyak mentah yang naik tinggi. Pada bulan lalu, harga minyak mentah melesat mendekati kenaikan harian 20%, karena insiden serangan pesawat tanpa awak di fasilitas minyak Arab Saudi.
Setelah kejadian itu, harga CPO sempat menyentuh level 2.279 ringgit per ton, tertinggi sejak Mei 2019.
Seperti diketahui, harga minyak bumi yang lebih kuat membuat kelapa sawit lebih menarik untuk dicampur menjadi biofuel.
Pemilik Palm Oil Analytics di Singapura Sathia Varqa mengatakan, kenaikan harga sawit adalah efek dari lonjakan harga minyak mentah dan minyak kedelai pada pertengahan September.
“Namun, fudamental sawit lebih lemah karena perlambatan ekspor dan ekspektasi kenaikan produksi,” katanya dilansir dari Bloomberg, pertengahan bulan lalu.
Source: Bisnis Indonesia