Menuding sawit sebagai sumber petaka memang mudah. Antara lain seperti tulisan berjudul ”Karhutla dan Kejahatan Ekosida” oleh M Ridha Saleh yang dimuat di Kompas, Selasa (24/9/2019).
Ada dua poin yang mendukung pendapat di atas. Pertama, ada kalimat yang menyebut,”karhutla… dijadikan cara ekspansi guna mendapatkan keuntungan perkebunan sawit besar”. Kedua, ”beberapa riset menunjukkan bahwa sejumlah perusahaan lebih memilih menanggung risiko bersalah dan membayar denda dibandingkan mencegah kebakaran ”.
Menurut saya, tulisan itu tendensius dan merugikan karena hanya korporasi bodoh dim mau bunuh diri yang sengaja melakukannya. Apakah penulis tidak tahu, ada ancaman hukum strict liability alias tanggung jawab mutlak yang sudah menjadi momok. Jika ditemukan, tak peduli api berasal dari mana, pemilik konsesi menanggung risiko dan tanggung jawab hukum.
Penulis juga tidak adil karena ketika menjelaskan data, di bagian lain, sumber data disebutkan. Misalnya, BNPB. Saat menuding korporasi, hanya menggunakan kata ”beberapa riset” tanpa kejelasan publikasi risetnya.
Menurut Global Forest Watch Fires, 85 persen titik api ada di luar konsesi. Artinya, upaya pencegahan korporasi (sawit dan lain-lain) cukup efektif sehingga dapat menguningi risiko ”hanya” 15 persen. Jadi, apa dan tanggung jawab siapa yang mencegah di luar konsesi?
Sebagai aktivis RAM, tentu harus adil melihat nasib dan hak manusia di semua kelompok. Ada hak dan nasib manusia yang terancam pekerjaan, nafkah, dan hidupnya. Perkebunan (sawit) di Indonesia itu bukan hanya korporasi. Ada 2 juta petani dan 5 juta buruh.
Kampanye hitam Eropa sudah bikin sawit limbung. Suka atau tidak, benar atau salah, kita telanjur tergantung dari sawit. Pilihan paling bijak, kita bergotong royong menyelamatkan, bukan ramai-ramai merongrongnya.
Tak terbayangkan jika sawit kolaps. Akan ada ancaman besar masalah ekonomi, sosial, dan politik. Semoga kita menyadarinya.
oleh SUMARJONO SARAGIH (Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumatera Selatan)
Source: Kompas