KUALA LUMPUR, KOMPAS – Kampanye hitam bahwa minyak sawit dihasilkan dari praktik deforestasi yang rakus lahan serta ancaman pada keanekaragaman hayati dan konflik sosial bisa diatasi dengan kampanye dan sosialisasi dengan memakai fakta berdasar kajian ilmiah. Pada saat yang sama, juga dibutuhkan keseriusan diri dalam menjaga dan membuktikan bahwa minyak sawit yang diproduksi dihasilkan dari proses yang berkelanjutan.
Saat membuka International Palm Oil Congress and Exhibition (PIPOC 2019) di Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa (19/11/2019), Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad menyatakan tekadnya untuk memastikan setiap tetes minyak sawit yang dihasilkan negaranya terjamin keberlanjutannya. Hal itu bisa teijadi apabila setiap industri sawit membangun pilar keberlanjutan dalam praktik bisnisnya, yaitu people, planet, dan profit (masyarakat, bumi, dan keuntungan). Hal itu, menurut dia, sejalan dengan arah target dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Ia pun memamerkan keberhasilannya menjaga komitmen Malaysia saat Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil, pada 1992. Saat itu, Mahathir menyatakan akan menjaga tutupan hutan Malaysia sebesar 50 persen. ”Saat ini tutupan hutan di Malaysia 55 persen atau 33 juta hektar,” kata Mahathir, disambut tepuk tangan peserta.
Karena itu, ia meminta Malaysia dan negara lain penghasil sawit untuk tidak diam melawan isu kampanye hitam ataupun diskriminasi sawit.”Apabila ada bukti yang menunjukkan (evidence) terjadi praktik diskriminasi perdagangan yang melanggar hukum internasional, Malaysia dan negara penghasil sawit dalam Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC) harus mencari intervensi dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO),” ujarnya.
Mengumpulkan bukti
Mahathir mengatakan, Malaysia dan negara lain penghasil minyak sawit terus berupaya mengumpulkan bukti dan fakta yang berbasis kajian ilmiah untuk melawan kampanye hitam dan diskriminasi. Dia juga mendorong informasi-informasi itu disebarluaskan ke masyarakat dan dunia internasional.
Isu kampanye hitam yang berbasis pada misinformasi bisa berujung serius. Mahathir menunjukkan paparan yang berisi gambaran pencantuman ”Palm Oil Free” atau kampanye ”Say No to Palm Oil” pada produk selai. Tudingan produk tersebut, yaitu sawit dihasilkan dari perusakan hutan tropis yang (Bersambung ke him 11 kol 6-7)» Mahathir Ajak Produsen mengorbankan habitat orangutan serta satwa lain.
Dia mengatakan, minyak sawit terbukti paling produktif dan efisien ketimbang minyak nabati lain, seperti rapeseed, bunga matahari, dan kedelai, dari sisi kebutuhan lahan. Karena itu, kebutuhan lahan kebun sawit jauh lebih kecil.
Mulai Januari 2020, Malaysia mewajibkan sertifikasi Malaysia Sustainable Palm Oil kepada semua pelaku usaha sawit yang beroperasi di Malaysia. Kendala pada pekebun kecil, kata Menteri Industri Primer Malaysia Teresa Kok, diatasi dengan memberikan kredit ringan 2 persen per tahun kepada petani yang menjalankan peremajaan kebun sawitnya.
Sehari sebelumnya, pada Pertemuan Kedua Tingkat Menteri Negara-negara Penghasil Minyak Sawit di Kuala Lumpur, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia Airlangga Hartarto mengakui peremajaan tanaman sawit pada pekebun kecil masih jauh dari target (Kompas, 19/11).
Terkait isu kampanye hitam dan diskriminasi sawit, Airlangga mengatakan, butuh kerja sama antarnegara penghasil minyak sawit untuk melawan hal itu. Ia mengatakan, Indonesia akan memberi ruang dan dana yang lebih besar pada kampanye dan sosialisasi untuk memperbaiki citra sawit.
Source : Kompas