JAKARTA – Ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar India meningkat hingga 51% pada September 2019 dari bulan sebelumnya menjadi 481 ribu ton. Kenaikan ekspor yang relatif tajam tersebut terjadi menyusul perubahan kebijakan tarif bea masuk (BM) sawit oleh Pemerintah India. Tarif BM untuk produk sawit dari Indonesia menjadi sama dengan tarif untuk produk minyak sawit dari Malaysia ke negara Asia Selatan tersebut.
Dari data yang diolah Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), produksi minyak sawit Indonesia per September 2019 (year to date) mencapai 36 juta ton atau naik 13% dari periode yang sama tahun 2018. Dari total produksi tersebut, yang terserap di pasar ekspor mencapai 26 juta ton, volume ekspor tersebut naik 13% dari Agustus 2019 dan naik 4% dibandingkan ekspor pada periode yang sama 2018.
Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono menjelaskan, untuk pasar ekspor sawit September dibandingkan Agustus 2019, kenaikan terjadi pada semua semua produk, kecuali biodiesel dan minyak laurat. Penurunan ekspor biodiesel yang besar terjadi pada pasar tujuan Tiongkok, negara Asia Tenggara dan Asia Timur lainnya. “Meskipun demikian, volume ekspor terbesar sampai September 2019 (year to date) masih ke Tiongkok sebesar 4,80 juta ton, diikuti oleh Uni Eropa (UE) sebesar 4 juta ton, negaranegara Asia Tenggara dan Asia Timur selain Tiongkok sebesar 3,80 juta ton, Afrika sebesar 3,70 juta ton, dan India 3,30 juta ton,” ungkap Mukti Sardjono dalam keterangannya, Rabu (20/11).
Pada aspek produksi, produksi September 2019 turun sekitar 2% dari bulan sebelumnya. Sejumlah provinsi yang mencatat penurunan produksi antara lain Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, dan Jambi. Namun penurunan produksi itu tertutupi dengan kenaikan produksi di provinsi-provinsi lain. Sampai September tahun ini, hujan masih belum turun sehingga telah terjadi water deficit yang mempengaruhi pembentukan bunga betina. Selain itu, kemarau panjang sepanjang 2019 juga menyebabkan pemupukan masih belum dapat dilakukan. “Kedua hal itu akan mempengaruhi pencapaian produksi tahun depan,” kata dia.
Sementara itu, konsumsi domestik minyak sawit sampai dengan September mencapai 13,10 juta ton atau sekitar 38% lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu. Penyerapan minyak sawit terbesar di pasar domestik adalah untuk biodiesel yang meningkat dua kali lipat. Untuk volume ekspor September 2019 saja, ekspor terbesar adalah ke Afrika sebanyak 687 ribu ton atau senilai US$ 402 juta, diikuti oleh Tiongkok 560 ribu ton (US$ 286 juta), India 481 ribu ton (US$ 238 juta), dan UE 315 ribu ton (US$ 155,60 juta).
Dari segi harga, minyak sawit telah menunjukkan kenaikan yang konsisten sejak Juli 2019 dan mencapai US$ 680 CIF Rotterdam. Selain karena memasuki musim dingin yang mana harga lemak dan minyak pada umumnya naik, kenaikan harga minyak sawit tersebut juga disebabkan oleh turunnya stok karena produksi yang kurang baik serta kekhawatiran berkurangnya ekspor minyak sawit Indonesia karena digunakan untuk energi. Stok minyak sawit pada September 2019 turun 2% dari stok bulan sebelumnya menjadi 3,73 juta ton.
Sempat Turun Tajam
India tercatat sebagai salah satu negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia, namun volume ekspor komoditas sawit ke India sempat terus mengalami penurunan akibat penerapan tarif BM yang relatif tinggi dibanding Malaysia dengan alasan melindungi industri minyak nabati di India. Berdasarkan data Gapki, pada Maret 2019 misalnya, ekspor CPO dan turunannya dari Indonesia ke India turun tajam hingga 62%, yakni dari 516.530 ton pada Februari 2019 menjadi 194.410 ton pada Maret 2019.
Pemerintah Indonesia sendiri selama ini telah berupaya melobi Pemerintah India untuk menyamakan tarif BM sawit Indonesia dengan Malaysia dan berjalan sukses. Tarif BM yang disamakan adalah untuk minyak sawit olahan yang telah disuling (efined, Bleached, and Deodorized Palm Oil/ RBDPO). Penyamaan tarif RBDPO sebenarnya telah menjadi komitmen Indonesia dan India di bawah perjanjian Asean-India Free Trade Agreement (AIFTA). India selama ini memberikan keringanan BM RBDPO kepada Malaysia karena kedua negara itu memiliki perjanjian perdagangan bilateral India and Malaysia Implement Comprehensive Economic Cooperation Agreement (IMCECA). BM yang berlaku di AIFTA adalah 50% sedangkan di IMCECA lebih rendah 5% yakni 45%.
Source : Investor Daily