Pekanbaru, Gatra.com – Bisa jadi, ini kali pertama wakil rakyat di Senayan betah mengupas segala tetek bengek kelapa sawit hingga hampir lima jam. Hadirnya Dirjen Perkebunan, pengusaha dan petani kelapa sawit, membikin sawit benar-benar menjadi sangat seksi untuk dibincangkan.
Sebab di satu sisi, tak ada yang bisa memungkiri kalau kelapa sawit telah muncul sebagai sumber devisa terbesar Negara dan menjadi sumber penghidupan terfavorit petani Indonesia. Ada lebih dari 12 juta orang yang menggantungkan hidup di komoditi ini.
Meski sudah memberi dampak sefantastis itu, sawit yang ada sekarang ternyata belum sampai pada produksi maksimal. “Hasil sawit kita masih rendah, masih di kisaran 3,6 ton perhektar pertahun. Padahal potensinya sekitar 5-6 ton perhektar pertahun,” kata Dirjen Perkebunan Kasdi Subagyono, saat didapuk memberi paparan di ruang rapat Komisi IV DPR RI, Senin (25/11).
Dari paparan Kasdi tadi, wajar jika eropa ketar-ketir dengan geliat sawit Indonesia. Sederet aturan mainpun dibikin untuk mempersempit ruang gerak si emas hijau ini. Mulai dari sawit sumber penyakit hingga sawit perusak hutan dan ekosistem, dihembuskan.
Isu ini tidak menggelinding sendiri, sebab setelahnya, aturan ketat bernama Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) langsung memboncengi. Indonesia yang terpengaruh dengan aturan ini, membikin pula yang namanya Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
ISPO inilah yang belakangan membikin petani puyeng. Sebab apa yang selama ini menjadi persoalan petani sebenarnya sudah sejak lama diketahui oleh pemerintah, namun persoalan itu terkesan dibiarkan. Kasdi sendiri bisa mengurai persoalan itu di hadapan hampir semua anggota Komisi IV itu.
Kasdi menyebut ada delapan tantangan industri sawit. Selain masih rendahnya produktivitas sawit tadi, Kasdi juga menyebut bahwa ada masalah di data dan pemetaan, lalu ada sekitar 3 juta hektar kebun kelapa sawit di dalam kawasan hutan.
Legalitas dan perizinan juga bermasalah lantaran adanya disharmonisasi peraturan antar lembaga baik di pusat maupun di daerah. Konflik usaha antara masyarakat dan perusahaan, kerusakan lingkungan dan kebakaran, hilirisasi turunan sawit dan kampanye negatif Uni Eropa, melengkapi 8 tantangan tadi.
Persoalan yang diurai oleh Kasdi tadi juga sebenarnya yang diusung oleh Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspekpir) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) ke ruang komisi IV itu.
Sederet masalah itu seakan-akan memunculkan kesan pembiaran masalah dan memunculkan masalah baru bernama ISPO. Di sebut masalah baru lantaran ISPO baru bisa didapat kalau masalah lama sudah kelar. “Kami minta kepastian hukum dalam berinvestasi, ini sangat penting. Salah satunya masalah tumpang tindih kebun sawit di kawasan hutan, ini permasalahan krusial yang sudah puluhan tahun tidak ada solusi konkrit. Sampai hari ini tidak ada penyelesaian baik pada perkebunan swasta, apalagi kebun rakyat,” kata Ketua Umum GAPKI, Joko Supriyono.
Gara-gara ketidakpastian hukum dan tumpang tindih lahan tadi kata Joko sertifikasi ISPO menjadi terhambat. Alhasil sustainability berpeluang tidak tercapai. “Masalah ini akan mempersulit perjuangan melawan kampanye negatif di pasar global, “katanya.
Apkasindo malah tegas-tegasan menolak ISPO berlaku bagi petani sebelum masalah-masalah yang ada diberesi pemerintah. Sebab masalah itu bukan petani yang memunculkan, tapi pemerintah juga, meski itu pada era pemerintah yang lama.
“Gimana pula kami bisa dapat sertifikat ISPO sementara hampir 50% petani sawit kami terjebak di dalam klaim kawasan hutan? Dan yang membikin kami makin pusing, dulu sawit masyarakat tidak kawasan hutan, sekarang malah jadi kawasan hutan,” rutuk Ketua Umum Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung. “Saya sangat memahami kemana arah ‘pemaksaan’ petani wajib ISPO itu. Ini jebakan buat petani sawit, tapi jebakan ini akan menjadi bumerang. Sebab nanti, negara juga yang susah kalau petani bangkrut dan miskin,” kata Gulat yang auditor ISPO itu.
Singkat cerita, pertemuan yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi IV, G Budisatrio Djiwandono, itu menghasilkan 8 kesimpulan untuk disodorkan kepada pemerintah. Pertama, Komisi IV mendorong Kementerian Pertanian, Perusahaan Kelapa Sawit, dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit untuk melakukan penguatan koordinasi dalam menyelesaikan persoalan, tata kelola, serta potensi pasar sawit domestik dan Internasional.
Kedua, Komisi IV mendorong Pemerintah untuk segera melakukan sinkronisasi regulasi dan data komoditas perkebunan kelapa sawit secara akurat dan transparan dari hulu hingga hilir. Ketiga, Komisi IV mendorong Pemerintah segera menyelesaikan persoalan perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan. Keempat, Komisi IV mendorong Pemerintah untuk segera mencari solusi terkait percepatan realisasi penyaluran pendanaan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Kelima, Komisi IV mendorong Pemerintah mempromosikan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) kepada seluruh stakeholder dalam rangka mengatasi image negatif tentang kelapa sawit. Keenam, Komisi IV menerima usulan Apkasindo, Aspekpir terkait dukungan PSR, peningkatan SDM, sarana prasarana, riset, dan promosi. Selanjutnya, Komisi IV akan melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Kementerian Pertanian dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) membahas dukungan anggaran untuk pengembangan kelapa sawit rakyat.
“Ketujuh, Komisi IV meminta Kementerian Pertanian untuk menyerahkan data dan peta kawasan perkebunan kelapa sawit, mulai dari perkebunan rakyat, perusahaan swasta, maupun negara. Kedelapan, Komisi IV akan membentuk Panitia Kerja (Panja) tentang kelapa sawit,” cerita Gulat kepada Gatra.com, Selasa (26/11).
Uniknya, di saat sawit terus dipersoalkan, kebutuhan minyak nabati di pasar global justru terus meningkat. Dan ini kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono, menjadi peluang besar bagi Indonesia. “Produksi minyak sawit tumbuh 34,5%, permintaan tumbuh 35,9%. Ini berarti demand akan minyak nabati sangat kuat di masa mendatang,” katanya.
Lantas kenapa pemerintah tidak bersegera turun tangan langsung memberesi persoalan yang ada biar Indonesia bisa menggapai peluang besar tadi? Kenapa malah justru ngotot memberlakukan ISPO kepada semua pelaku sawit di saat sederet masalah itu belum selesai?
Source: Gatra