Ekspor minyak sawit mulai menggeliat, setelah empat tahun terakhir tertekan suramnya ekonomi global. Yang melegakan, ekspor tidak hanya naik dari sisi nilai, namun juga volumenya meningkat. Ini berarti, di tengah tingginya proteksi akibat perang dagang AS-Tiongkok dan diskriminasi oleh Uni Eropa, peluang mendongkrak produk unggulan Indonesia itu masih terbuka.
Sektor sawit yang masih menjadi andalan ekonomi Indonesia ini mulai bergerak positif, didorong sejumlah faktor. Seiring negosiasi yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan sejumlah negara pasar utama, ekspor minyak sawit menanjak. Bahkan, pengapalan ke India melejit hingga 51% pada September 2019, dibanding bulan sebelumnya, menjadi 481 ribu ton.
Lonjakan ekspor tersebut terjadi menyusul suksesnya negosiasi win-win solution yang diajukan pemerintah Indonesia terhadap India, yang memiliki penduduk terbanyak kedua di dunia 1,37 miliar, atau 2,5 kali lipat lebih dari Uni Eropa yang beranggotakan 28 negara. India yang sama-sama negara berkembang ini rakyatnya membutuhkan minyak yang harganya murah seperti minyak sawit produksi Indonesia, di sisi lain gulanya berlimpah sehingga ingin menjual ke Indonesia yang kekurangan gula.
Kedua negara yang sejak lama bersahabat ini akhirnya sepakat, pemerintah India menurunkan tarif bea masuk (BM) minyak sawit Indonesia, yang kini tarifnya disamakan dengan produk impor dari Malaysia ke negara Asia Selatan tersebut. Imbalannya, Indonesia memangkas BM gula impor dari India 50% dari sebelumnya 10% menjadi 5%, sementara itu gula impor dari negara lain seperti Thailand tetap kena BM 10%. Indonesia hingga kini masih mengimpor jutaan ton gula tiap tahun.
Alhasil, secara keseluruhan, ekspor sawit RI naik signifikan. Kenaikan terjadi di hampir semua produk sawit, kecuali biodiesel yang mendapat diskriminasi di Uni Eropa (UE). Volume ekspor hingga September 2019 ke India menembus 3,30 juta ton, hanya kalah dengan Tiongkok sebesar 4,80 juta ton. Sedangkan ekspor ke kawasan UE sekitar 4 juta ton, negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur selain Tiongkok 3,80 juta ton, dan Afrika 3,70 juta ton.
Sementara itu, sepanjang 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor minyak sawit hanya sebesar US$ 17,89 miliar untuk 32,02 juta ton pengiriman, anjlok 12,02% dibanding capaian pada 2017 sebesar US$ 20,34 miliar. Hal ini terutama karena merosotnya harga minyak nabati yang paling kompetitif di dunia itu.
Padahal, minyak sawit ini sangat penting bagi Indonesia, yang merupakan produsen dan pengekspor terbesar di dunia. Dari total produksi sawit Indonesia yang naik menjadi 47,61 juta ton sepanjang 2018, sebanyak 70% dialokasikan untuk ekspor dan 30% sisanya untuk konsumsi dalam negeri.
Komoditas ini menyumbang devisa ekspor terbesar kedua di sektor nonmigas tahun lalu, setelah batu bara. Produk ekspornya mencakup minyak sawit mentah (criidepalm oil/ CPO) sebagai bahan baku sekitar 22%, oleochemical 3%, biodiesel 1%, dan 74% dalam bentuk minyak kelapa sawit olahan yang lain. Adapun pasar utamanya masih berasal dari tiga tujuan utama, yakni India 6,71 juta ton, Uni Eropa 4,78 juta ton, dan Tiongkok 4,41 juta ton. Sedangkan ekspor ke Amerika Serikat hanya sebesar 1,21 juta ton dan untuk pasar nontradisional 6,44 juta ton.
Dari dalam negeri, faktor yang diproyeksikan mendorong kembali harga minyak sawit ke depan adalah musim kemarau panjang, yang berpotensi mengurangi produksi dan stok. Itulah sebabnya, harga kini mulai merangkak naik.
Gapki mencatat, harga CPO (CIF Rotterdam) trennya menguat. Jika pada September 2019 hanya sebesar US$ 535 per ton, pada Oktober mencapai US$ 605 per ton, dan pada 25 November lalu US$ 700 per ton. Saat booming tahun 2011, harga pernah menembus US$ 1.292 per ton.
Mengingat harga komoditas sangat sensitif terhadap isu penurunan ataupun kenaikan produksi atau konsumsi, maka momentum itu perlu dimanfaatkan secara cerdas oleh pemerintah Indonesia untuk mengerek kembali harga minyak sawit. Apalagi, sawit ini menyangkut 17 juta orang yang hidupnya tergantung pada industri tersebut plus sangat memengaruhi ekonomi daerah. Merosotnya sektor inilah yang antara lain memicu melemahnya pertumbuhan kredit menjadi single digit, dalam beberapa tahun terakhir. Belum lagi, petani sawitlah yang pertama-tama terpukul kalau harga minyak anjlok, karena tandan buah sawit mereka dihargai sangat rendah.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia adalah menggandeng Malaysia produsen dan eksportir minyak sawit terbesar kedua -, untuk bersama-sama meningkatkan pemakaian biodiesel di dalam negeri, sebagai pencampur ataupun pengganti BBM solar. Apalagi, impor minyak dan hasil minyak Indonesia sudah membengkak, menjadi kanker yang siap menghancurkan ekonomi kita.
Tahun lalu, impor migas melambung jadi US$ 29,81 miliar, dengan senilai US$ 17,58 miliar atau hampir 60% merupakan hasil minyak. Alhasil, defisit neraca perdagangan RI menembus US$ 8,57 miliar atau rekor terburuk sepanjang sejarah, akibat defisit migas yang melebar ke US$ 12,40 miliar. Kinerja ekspor nonmigas yang sebetulnya masih membukukan surplus pun jadi tertelan dan rupiah semakin anjlok, dengan depresiasi terhadap dolar AS lebih dari 6%.
Oleh karena itu, mandatori pemakaian pencampuran biodiesel ke solar yang saat ini hanya 20% (B20) perlu segera dinaikkan menjadi B30 untuk solar transportasi maupun industri, tidak perlu menunggu tahun depan. Selain itu, pembangkit listrik BUMN PLN yang masih menggunakan BBM, kendati sudah mengecil porsinya, harus diganti 100% dengan biodiesel.
Lalu, siapa yang harus menyuplai pasokan untuk mandatori biodiesel tersebut? Untuk kepentingan nasional yang sangat strategis ini, setidaknya bisa ditugaskan utamanya ke BUMN perkebunan. Sedangkan swasta juga perlu dilibatkan dalam memasok bahan baku secara proporsional, karena mereka juga berkepentingan untuk mendongkrak kembali harga minyak sawit dunia dalam jangka panjang.
Dengan mandatori pemakaian B30 ini, setidaknya penyerapan biodiesel di dalam negeri mencapai 9-10 juta ton minyak sawit setahun, dibandingkan penyerapan program B20 yang sekitar 3,8 juta ton di 2018. Artinya, impor BBM bisa dipangkas sekitar 6,2 juta kilo liter atau menghemat devisa sekitar US$ 4 miliar (Rp 55 triliun), jika asumsi harga solar impor per liter Rp 8.900.
Nilai itu bukan main-main, bandingkan saja dengan angka anggaran untuk Kementerian Perindustrian yang mempunyai tanggung jawab sangat besar, yang dalam APBN 2020 hanya dijatah sekitar Rp 5,75 triliun. Belum lagi, pengurangan pasokan ekspor minyak sawit bisa mencapai 20%, yang dipastikan bisa mendorong kembali booming harga CPO.
Source: Investor Daily