Gugatan berlangsung paralel dengan pembahasan kerja sama dagang IEU CEPA.
JAKARTA – Pemerintah melawan tindakan diskriminatif Uni Eropa terhadap minyak sawit. Selain mengajukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Indonesia menuntut standardisasi terhadap produk minyak nabati yang diperdagangkan di Eropa dan seluruh dunia.
Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Pradnyawati, mengatakan tuntutan atas standardisasi itu diajukan dalam berbagai forum, salah satunya Trade and Sustainable Development (TSD). “Kami minta ada standardisasi karena selama ini yang diminta sertifikasi hanya minyak sawit. Sertifikasi tidak berlaku untuk minyak nabati lain, seperti minyak bunga matahari, kedelai, dan jenis lainnya,” kata dia, kemarin.
Pemerintah melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss, mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa kepada WTO pada 9 Desember lalu. Gugatan diajukan terhadap kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE karena kelapa sawit Indonesia dikategorikan sebagai Indirect Land Use Change (ILUC) atau penyebab alih fungsi lahan yang berisiko tinggi.
Pradnyawati mengatakan, dalam kesempatan pertemuan technical barriers to trade (TBT) dan dispute settlement body (DSB) di WTO, pemerintah meminta klarifikasi atas klaim Uni Eropa. Dia menilai metode ILUC sangat lemah karena basisnya hanya asumsi.
Pada saat yang sama, pemerintah juga terus mendorong komunikasi dengan mengangkat isu sawit dalam skema kerja sama perdagangan Indonesia -European Union Comprehensive Eeonomic Partnership Agreement (IEU CEPA). Dalam pembahasan IEU CEPA, pemerintah mengusulkan pada Chapter Trade and Sustainable Development (TSD) yang mencakup penerimaan standar yang dibuat oleh Indonesia. Perjanjian itu harus memastikan kebijakan yang nondiskriminatif. “Sementara perundingan kerja sama IUE CEPA jalan terus, berdampingan dengan gugatan. Dua jalur ditempuh bersamaan,” ujar Pradnyawati.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana, mengatakan metode ILUC itu tidak dapat disamakan penggunaannya untuk penghitungan deforestasi pada komoditas tertentu. Kriteria ILUC hanya berfokus pada lahan yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. “Uni Eropa mengecualikan kedelai dari Amerika Serikat, yang menurut kriteria ILUC memiliki tingkat deforestasi tinggi,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat, Daniel Johan, mengatakan harus memperkuat diplomasi agar sawit tetap bisa masuk ke Uni Eropa. Dia juga mendorong agar Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit juga turut meluruskan kampanye negatif kelapa sawit di beberapa negara.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joko Supriyono yakin diskriminasi kelapa sawit oleh Uni Eropa bukan sekadar urusan bisnis, tapi juga politik. Dia meminta pemerintah masuk ke instrumen perdagangan ketimbang terjebak dalam urusan ilmiah. “Ini persoalan perdagangan, sehingga perlu memanfaatkan instrumen lain, misalnya tarif,” ujar Joko.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance, Ahmad Heri Firdaus, mengatakan seharusnya Indonesia bisa memenangi gugatan terhadap RED II lantaran metode ILUC yang digunakan Uni Eropa tidak bisa divalidasi. Pemerintah harus punya bekal yang matang dan solid.
Source: Koran Tempo