JAKARTA. Sentimen positif kembali menghinggapi industri minyak sawit mentah atawa crude palm oil (CPO) dalam negeri. Setelah penerapan program biodiesel 30% (B30), beredar kabar India memboikot impor CPO dari Malaysia. Alhasil, pelaku industri CPO Indonesia berpotensi mengambil alih ceruk pasar para pemain di Negeri Jiran.
Seperti diketahui, Malaysia dan Indonesia merupakan dua produsen CPO global. “Jadi ada kemungkinan konsumen India beralih ke minyak sawit Indonesia,” kata Swasti Kartikaningtyas, Sekretaris Perusahan PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk kepada KONTAN Rabu (15/1).
Adapun selama ini India memang sudah menjadi tujuan ekspor Sawit Sumbermas. Negara yang terkenal dengan film Bollywood tersebut masuk dalam kategori ekspor di wilayah Asia Selatan bersama dengan Pakistan dan Bangladesh. Hanya saja, emiten berkode saham SSMS di Bursa Efek Indonesia (BEI) tersebut tidak memerinci porsi ekspor ke India.
Meski peluang bisnis terbuka di depan mata, mansyemen Sawit Sumbermas tak mau hanya mengandalkan sentimen boikot India terhadap Malaysia. Mereka memperkirakan, kedua negara tersebut pasti akan mencari titik temu atas permasalahan boikot yang terjadi.
Makanya, secara mandiri Sawit Sumbermas tetap berusaha memperlebar jangkauan pemasaran di tengah tren harga CPO yang mulai membaik. Meskipun awal tahun curah hujan sangat tinggi, mereka berusaha mengerek produksi. Targetnya yakni memproduksi 572.000 ton CPO sepanjang 2020 atau naik ketimbang realisasi produksi tahun lalu 457.000 ton.
Segendang sepenarian, PT Sampoerna Agro Tbk juga melihat aksi boikot India terhadap Malaysia sebagai berkah bagi pelaku industri sawit dalam negeri. Meskipun, perusahaan berkode saham SGRO di BEI tersebut, menjual seluruh produk CPO di pasar dalam negeri. Sampoerna Agro memperkirakan, harga CPO dalam negeri berpeluang menguat. Selain karena potensi peningkatan permintaan dari India, permintaan CPO juga terungkit program B30. Sementara kenaikan produksi CPO domestik cenderung tidak signifikan karena kemarau berkepanjangan tahun lalu.
Tak ayal, Sampoerna Agro bisa turut menikmati efek domino dari sentimen tersebut. “Kondisi ini bisa mengamplifikasi tren positif harga CPO,” tutur Michael Kesuma, Head of Investor Relations and Public Relations PT Sampoerna Agro Tbk. Sampoerna Agro tak khawatir dari sisi produksi. Sejak tahun lalu, mereka sudah menggenjot penanaman kelapa sawit demi menjaga tingkat produksi.
Kendati demikian, manajemen Sampoerna Agro memperkirakan efek positif dari boikot India terhadap Malaysia hanya akan bersifat sementara. Tren harga CPO juga bisa saja kembali terkoreksi oleh mekanisme pasar untuk periode jangka panjang.
Terlepas dari sentimen boikot India, PT Austindo Nusantara Jaya Tbk melihat prospek industri sawit dalam negeri tahun ini memang membaik. Perusahaan berkode saham ANJT di BEI itu juga menunjuk program B30 dan ketat nya produksi dalam negeri sebagai penopang.
Namun Austindo Nusantara tak mau terlalu ambil pusing. Mereka lebih memilih fokus mengawal pemeliharaan tanaman muda yang belum menghasilkan dan pembangunan lini kedua pabrik kelapa sawit (PKS) di Ketapang, Kalimantan Barat. Dua agenda kerja tersebut akan memanfaatkan dana belarya modal alias capital expenditure (capex) sebesar Rp 600 miliar.
Sumber pendanaan capex berasal dari kas internal dan pinjaman eksternal. “Grup kami tetap melakukan penghematan belanja modal dan tetap fokus pada belanja modal yang bersifat strategis,” kata Lucas Kumiawan, Direktur Keuangan PT Austindo Nusantara Jaya Tbk.
Kebijakan India
Dalam acara konferensi sawit internasional Pakistan Edible Oil Conference (PEOC) awal tahun 2020 di Karachi Pakistan, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengakui jika potensi pasar CPO di India menjanjikan. Makanya, asosiasi tesebut menaruh perhatian pada pasar CPO di sana.
Namun sejak 2017 saja, tren ekspor CPO Indonesia ke India menurun. Volume ekspor CPO Indonesia ke India tahun 2017 mencapai 7,6 juta ton. Tahun 2018, volumenya turun menjadi 6,7 juta ton. Catatan tersebut sempat mengkhawatirkan karena sampai Oktober 2019 volume ekspor hanya sebanyak 3,7 juta ton.
Penurunan ekspor CPO itu akibat India mengutip bea masuk lebih tinggi kepada Indonesia ketimbang kepada Malaysia. Alhasil, industri sa wit Indonesia kalah kompetitif dibandingkan dengan dengan Negeri Jiran.
Memang, pemerintah India kemudian mengubah kebijakan tersebut. Pelaku industri CPO Indonesia menanggung tarif bea masuk sama besar dengan Malaysia. Makanya, tren ekspor CPO Indonesia ke India pada bulan Oktober 2019 mulai naik.
Hanya saja, pada awal 2020 India mengeluarkan kebijakan lain berupa pelarangan impor produk olahan minyak sawit. Kebijakan tersebut dapat merugikan ekspor produk olahan minyak sawit Indonesia
Gapki menilai, dua kebijakan CPO India saling bertentangan. “Kami masih menung gu bagaimana penerapan kebijakan bani dari pemerintah India tersebut tapi yang pasti dua kebijakan tersebut saling bertentangan,” sebut Tofan Mahdi, Ketua Bidang Komunikasi Gapki kepada KONTAN, Rabu (15/1).
Tofan yang juga menjabat sebagai Vice President of Communications PT Astra Agro Lestari Tbk mengatakan, tujuan ekspor terbesar memang ke India. Berikutnya yakni China, Eropa dan Pakistan. Namun dia yakin, kebijakan India tak akan sertamerta mempengaruhi harga CPO global. Karena selain Indonesia dengan program B30, Malaysia juga berencana menerapkan B20.
Source: Kontan