Ditetapkannya data tutupan kebun kelapa sawit terbaru diharapkan dapat mempermulus upaya para pemangku kepentingan untuk mengurai permasalahan legalitas lahan yang masih berkelindan di perkebunan komoditas andalan ekspor itu.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah menetapkan luas tutupan lahan perkebunan sawit termutakhir dengan luas 16,381 juta hektare (ha) yang tersebar di 26 provinsi di Indonesia. Penetapan tersebut tertuang dalam surat Keputusan Menteri Pertanian Bernomor 833/KPTS/SR.020/M/12/2019 yang ditandatangani oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada 17 Desember 2019.
Dari 16,38 juta ha area tutupan sawit yang dipantau melalui amatan satelit, perkebunan di Provinsi Riau tercatat memiliki area terluas yakni sebesar 3,38 juta ha atau 20,6% dari total luas. Sumatra Utara menjadi provinsi kedua dengan luas terbesar yakni 2,079 juta ha dan Kalimantan Barat di posisi ketiga dengan area seluas 1,807 juta ha.
Ditetapkannya luas tutupan ini sekaligus memperbarui data Direktorat Jenderal Perkebunan pada 2018 yang menunjukkan bahwa luas kebun sawit nasional diestimasi sebesar 14,32 juta ha. Terbitnya data ini pun diharapkan menyelesaikan perbedaan data yang sempat dikeluarkan oleh sejumlah lembaga dan organisasi.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengharapkan diterbitkannya data tutupan sawit ini dapat memberi kepastian berusaha bagi petani swadaya. Menyitir data terdahulu, lebih dari separuh kebun yang dikelola petani swadaya dengan luas 5,8 juta ha terindikasi kawasan hutan.
“Kami ingin kepastian dalam usaha, terutama dari legalitas dan surat hak atas tanah,” ujar Darto kepada Bisnis, akhir pekan lalu.
Guna memastikan hal tersebut, dia menyebutkan pemerintah perlu mengidentifikasikan luas kebun yang dikelola oleh petani secara presisi. Pemerintah dinilainya juga perlu memperjelas lokasi kebun beserta siapa saja pengelolanya.
“Pemerintah menyebutkan data dua juta petani swadaya, ini siapa saja? Di mana kebunnya? Perlu ada pendataan lebih spesifik. Jika tidak demikian petani akan kesulitan memperoleh surat tanda daftar budi daya dan ini mempersulit proses untuk mendapatkan ISPO dan SHM [surat hak milik],” sambung dia.
Deputi bidang koordinasi Pangan dan pertanian kemenko Perekonomian RI Musdhalifah Machmud menjelaskan bahwa luas tutupan sawit yang ditetapkan melalui surat keputusan tersebut bakal diperjelas ke depannya secara tematik. Dari data yang ada, akan diidentifikasi lebih jauh status legal lahan, kepemilikan dan usia tanaman.
“Ini masih data lahan yang menurut pantauan satelit ditutupi oleh tanaman sawit. Nantinya akan dicek lagi secara tematik dan prosesnya di Kementerian Pertanian,” kata Musdhalifah.
Seiring masih digodoknya detil data tersebut, Musdhalifah pun memastikan bahwa program terkait keberlanjutan perkebunan sawit akan tetap merujuk pada data sebelumnya, termasuk untuk program peremajaan sawit rakyat (PSR).
Adapun dari 14,32 juta ha, sekitar 2,4 juta di antaranya berpotensi untuk diremajakan. “Kebijakan terkait yang berkaitan sejauh ini tetap berjalan sesuai rencana,” kata Musdhalifah.
LUAS RIIL
Diterbitkannya data luas lahan sawit ini pun diperkirakan tak bakal banyak mengganggu iklim usaha ke depannya.
Ketua Bidang Tata Ruang dan Agraria Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengemukakan data terbaru ini pun kian memperjelas luas riil kebun sawit Indonesia mengingat sebelumnya terdapat sejumlah versi mengenai area komoditas tersebut.
“Tidak ada masalah dengan iklim usaha ke depan dengan adanya data ini. Menurut saya data ini memberi sinyal baik karena bisa diketahui luas sebenarnya perkebunan sawit Indonesia,” ujarnya kepada Bisnis.
Menanggapi adanya perbedaan angka antara luas kebun pada 2018 dan 2019 usai dilakukannya penghitungan ini, Eddy berpendapat penambahan tersebut kemungkinan datang dari kebun swadaya. Hipotesis ini berangkat dari praktik pencatatan kebun kelolaan perusahaan swasta dan negara yang dinilainya berjalan dengan baik.
“Seharusnya kebun perusahaan, baik perkebunan swasta maupun negara sudah tercatat dengan baik. Hal ini karena pelaku usaha harus melaporkan perkembangan IUP [izin usaha perkebunan] kepada pemerintah. Jadi mestinya terdata dengan baik,” ujar Eddy.
Berdasarkan data Gapki dengan anggota mencapai 732 perusahaan, total perkebunan yang dikelola tercatat mencapai 4,3 juta ha. Adapun data Ditjen Perkebunan menunjukkan bahwa luas kebun yang dikelola oleh perusahaan swasta pada 2018 mencakup area sebesar 7,7 juta ha.
Penerbitan data kebun sawit yang lebih detil pun didukung oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung.
Dia menyebutkan luas tutupan sebesar 16,38 juta ha setidaknya telah merepresentasikan kondisi nyata di lapangan dan menjadi penutup perdebatan mengenai luas tanaman yang kerap disorot sebagai penyumbang alih fungsi hutan tersebut.
Data lebih jelas yang menjabarkan kondisi riil kebun pun disebut Gulat bisa menjadi acuan jelas untuk kebijakan persawitan selanjutnya karena bisa menggambarkan produktivitas, usia, dan kepemilikan secara akurat.
“Bagaimana mungkin sawit bisa berkembang di Indonesia selama ratusan tahun namun data produksi dan luas yang sebenarnya saja kita tidak punya. Padahal sawit memiliki peran strategis sebagai salah satu penyumbang terbesar devisa,” kata Gulat.
Dia pun mengemukakan kehadiran data ini bisa memberi kepastian mengenai luas pasti kebun yang dikelola oleh petani swadaya.
Jika benar kontribusi petani sebesar angka tersebut, Gulat berpendapat pemerintah perlu mengerahkan berbagai upaya untuk menjamin keberlanjutan keluarga petani yang perekonomiannya tergantung pada komoditas ini.
“Siapa sebenarnya pengelola kebun tersebut? Benarkah petani swadaya itu menguasai 46% lahan atau jangan- jangan itu hanya alat bagi oknum menggembor-gemborkan kebun petani sebagai yang terluas?” kata dia.
Source: Bisnis Indonesia