Menuduh perkebunan kelapa sawit sebagai penyebab deforestasi, itu adalah ilusi. Tuduhan yang datang dari Uni Eropa itu umumnya tidak berdasarkan fakta di lapangan. Pun tidak berdasar sebuah kajian ilmiah yang bisa dipertanggung jawabkan.
Pendapat tersebut disampaikan oleh Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki) Dr. Petrus Gunarso. “Apa yang dituduhkan Uni Eropa tersebut tidak benar. Banyak asumsi yang digunakan untuk framing sawit Indonesia yang tidak berdasar,” kata Petrus.
Petrus pun menjelaskan secara gamblang terkait isu deforestasi oleh perkebunan sawit tersebut. Dari sejarah awal, tanaman kelapa sawit berasal dari Ghana, Afrika dan ditanam pertama di Kebun Raya Bogor. Kemudian dicoba ditanam di Sumatra Utara dan cocok sehingga dikembangkan lebih luas.
“Dalam perkembangannya dari Sumatra Utara ke Riau, Sumatra Selatan hingga ke Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan. Itu dalam perjalanannya memang ada peralihan fungsi lahan, dari usaha kehutanan yang dimulai tahun 70an beralih perlahan ke perkebunan,” tutur Petrus saat dihubungi Rabu (18/3).
Petrus menjelaskan ada perbedaan pendekatan antara perkebunan dan kehutanan, termasuk perizinan dan pengembangan usahanya serta sangat erat kaitannya dengan pembagian tata ruang. Sawit mulai tumbuh cepat ketika ada peralihan dari industrihutan ke perkebunan namun tidak dari kawasan hutan tetapi lebih kepada konversi dari lahan hutan tanaman industri atau dari wilayah area penggunaan lain (APL).
Hal ini menjadikan tuduhan deforestasi yang digaungkan Eropa kepada sawit Indonesia tidak tepat. Terlebih pemahaman definisi hutan yang Eropa pahami berbeda dengan definisi yang ada di Indonesia.
Di Indonesia, hutan didefinisikan sebagai suatu hamparan lahan yang didominasi pepohonan dan juga kawasan yang secara administrasi ditetapkan sebagai hutan. Sedangkan Food and Agriculture Organization (FAO) yang diadopsi Uni Eropa menyatakan hutan sebagai lahan dengan luas minimal 0,5 ha dengan ketinggian minimal 5 m dan membentuk kanopi lebih dari 10%.
“Kalau merujuk definisi hutan Eropa di mana tutupan 10% masuk definisi hutan, di Indonesia tidak ada lahan yang tidak tertutup. Mau tanam sawit di mana kita. Meski sudah berstatus APL, kalau memenuhi kriteria definisi hutan menurut Food and Agriculture Organization (FAO), ketika tanamannya diganti sawit ya dianggap deforestasi,” katanya. Pengelolaan High Conservation Value (HCV) di Konsesi Perkebunan Kelapa Sawit di Kaltim.
Padahal dalam peraturan hukum di Indonesia, pengertian deforestasi adalah ketika terjadi perubahan status dari kawasan hutan bukan menjadi kawasan hutan. Karena itu, meski suatu areal sudah tidak ada tanamannya tapi masuk dalam status kawasan hutan, tidak bisa dijadikan areal budidaya.
Dari penelitian yang dilakukan Petrus, ditemukan bahwa perubahan tutupan antara Indonesia dan Malaysia tidak jauh berbeda. Malaysia karena telah memiliki kebun karet yang luas kemudian mengkonversikannya ke sawit, yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia yang juga melakukan konversi lahan yang sama.
Misalnya dari hasilpenelitiannya dari citra satelit dari periode 1990 2012 menunjukkan lahan sawit berasal dari lahan terlantar 43%, hutan produksi terdegradasi 27%, lahan pertanian 14%, Hutan Tanaman Industri (HTI) 13%, dan hutan produksi 3%.
“Jadi bukan hutan hijau rimbun yang kemudian ditebang dan dijadikan lahan sawit. Memang ada yang dari kebun rakyat dan kebun karet serta non hutan dikonversi menjadi sawit dan ada juga kawasan APL yang sebetulnya sudah rawan kondisinya,” tutur Petrus.
Pada studi lain yang dilakukan Eric Meijjard dalam jurnal berjudul Oil Palm and Biodiversity juga menemukan fakta serupa. Hilangnya hutan hujan tropis bukan sepenuhnya akibat pengembangan perkebunan kelapa sawit. Jurnal tersebut memperlihatkan antara tahun 1972-2015 hanya setengah dari perkebunan sawit dibuka dari hutan, sedangkan setengahnya lagi menggantikan lahan pertanian, padang rumput, semak belukar, dan penggunaan lahan lainnya.
Lebih lanjut, Meijjard menyatakan Pulau Kalimantan yang merupakan pulau penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Pada pulau Kalimantan yang masuk wilayah Indonesia telah mengalami kehilangan dan degradasi hutan skala besar karena ekstraksi dan pembakaran kayu j auh sebelum kelapa sawit muncul. Tanah yang dibuka tersebut barulah kemudian dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan luas kebun sawit di Indonesia pada 2018 sebesar 14,03 juta hektar atau hanya 7% dari daratan Indonesia yakni 187 juta ha sedangkan Total hutan di Indonesia masih berkisar 64,1% dari luas Indonesia dan APL sebesar 39,1%.
Dalam kaitan tersebut pun Petrus juga menyebutkan adanya kesalahpahaman Eropa yang mengasumsikan sawit berada di tengah tengah penduduk.
“Orang bayangannya sawit ada di tengah penduduk, padahal 60% penduduk ada di Jawa dan sawit itu sangat sedikit di Jawa. Mereka berfikir Indonesia itu satu pulau besar,” tutur Petrus.
Petrus justru menyebut tutupan sawit dewasa tutupannya sangat rapat bahkan mencapai 90%, padahal dengan definisi tutupan hutan 10% seharusnya kebun sawit masuk kategori hutan. Itu sebabnya Malaysia menyebut kawasan sawitnya sebagai hutan karena memiliki fungsi layaknya hutan yang tetap menyerap CO2, mencegah erosi karena adanya cover crop.
Sawit sendiri merupakan salah satu tanaman minyak nabati yang paling efisien dalam produktifitas dibandingkan dengan konsumsi per-hektar lahan. Petrus pun menilai ini hanya karena permainan dagang, Indonesia diusik karena menjadi produsen minyak nabati terbesar di dunia. Dan produk minyak sawit memegang pangsa pasar terbesar dalam pasar minyak nabati dunia.
Dalam perhitungan cut off date deforestasi, Eropa menghitung dengan metode yang tidak fair di mana cut off date dimulai dari periode 2008. Padahal deforestasi untuk pembukaan lahan minyak nabati lain seperti Kedelai dan Bunga Matahari di Eropa dan Amerika sudah jauh lebih dulu dilakukan.
Padahal data Departemen Pertanian AS (USDA) pada tahun 2017 telah membandingkan ekspansi perkebunan kelapa sawit dengan minyak nabati lainnya. Mengutip laporan USDA tersebut, pada tahun 1965 minyak nabati jenis lain seperti Kedelai telah menggunakan 52% area perkebunan, Bunga Matahari menggunakan 17%, Rapeseed atau Kanola menggunakan 16%, sedangkan minyak sawit hanya menggunakan 8%.
Pada 2017, area perkebunan untuk minyak nabati telah meningkat menjadi 61% untuk Kedelai, 12% untuk Bunga Matahari, 17% untuk Rapeseed, dan 10% untuk minyak kelapa sawit.
Petrus juga menyayangkan Uni Eropa tidak melihat bahwa Indonesia sendiri telah melakukan moratorium perluasan lahan sawit dan mendorong efisiensi lahan sawit yang ada untuk meningkatkan produktivitas. Moratorium sawit telah dilaksanakan sejak tahun 2011 dan terus diperpanjang hingga terakhir tertuang pada Inpres No 8 Tahun 2018 tentang tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit yang ditandatangani Jokowi pada 19 September 2018.
Manfaat Sawit Untuk Lahan Gambut
Kelapa sawit selalu mendapatkan tudingan Uni Eropa sebagai biang keladi akan kebakaran hutan, khususnya perkebunan kelapa sawit yang berada di atas lahan gambut. Namun kenyataannya justru tidak seperti itu sebagaimana data yang dipaparkan Global Forest Watch (GFW).
GFW menyebut, kebakaran lahan yang terjadi di Indonesia pada tahun 2019 hanya 11% yang berada di area perkebunan kelapa sawit dan mayoritas atau 68% berada di luar konsesi. Begitu pula pada kebakaran lahan di tahun 2015, GFW menyebutkan 14% kebakaran lahan di dalam perkebunan kelapa sawit sedangkan mayoritas atau 66% di luar konsesi atau lahan terlantar.
Uni Eropa juga menuding emisi kelapa sawit Indonesia mencapai 90 ton CO2 akibat dekomposisi gambut. Hal tersebut dibantah oleh penelitian yang dilakukan Supiandi Sabiham Ketua Himpunan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI). Ia menyebutkan dari penelitiannya menemukan emisi sawit di Indonesia hanya 20-25 ton CO2 ekuivalen per hektar dalam satu tahun.
Menurutnya pada dasarnya terdapat dua emisi kelapa sawit. Pertama dari akar dan kedua hilangnya karbon dari gambut. Jika kedua emisi itu digabungkan, jumlahnya akan sangat besar. Sebab, emisi dari akar kelapa sawit bisa mencapai sekitar 74%. Padahal yang net emissions-nya sangat kecildanhanya mencapai 20-25 ton CO2 ekuivalen.
“Kalau tidak ada tanaman wajar seperti itu, sedangkan kalau ada tanaman sebagian yang diemisikan diserap kembali untuk pembentukan biomassa oleh tanaman, termasuk sawit. 90 ton itu kalau tidak ada yang menyerap,”tutur Supiandi.
Sawit disebutkan Supiandi memiliki keunggulan dalam penyerapan karbon yang lebih besar untuk pembentukan biomassa yang lebih besar. Dari jumlah CO2 yang diserap sawit memiliki kemampuan yang baik dibandingkan dengan semak belukar saja.
Memang hutan menjadi yang paling baik dalam penyerapan CO2 tetapi dibandingkan sawit yang memiliki banyak manfaat dan turunan produk secara ekonomi jauh lebih menguntungkan sawit dibandingkan hutan yang hanya idle. Selain itu, jika gambut dibiarkan terlantar maka potensi terbakar justru akan lebih tinggi. (Dro/S2-25)
Sumber: Media Indonesia