Indonesia perlu menyiapkan dan melakukan kampanye terstruktur yang masif untuk melawan gerakan antisawit. Hal itu strategis untuk mengimbangi kampanye antisawit yang berdana besar dan akan lama waktunya.
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai negara produsen produk-produk sawit, Indonesia dinilai perlu menyiapkan dan melakukan kampanye terstruktur yang masif untuk melawan gerakan antisawit. Selain belum pernah dilakukan, kampanye terstruktur yang didukung pemerintah dan swasta di sektor itu dinilai strategis untuk mengimbangi kampanye antisawit yang berdana besar dan telah berlangsung lama.
Hal itu mengemuka dalam acara INA Palm Oil Talkshow bertema ”Indonesia Menanggapi Isu Kesehatan Kelapa Sawit di Tengah Covid-19” yang digelar Forum Komunikasi Sawit di Jakarta, Rabu (20/5/2020).
Acara itu menghadirkan sejumlah pembicara, antara lain Duta Besar RI untuk Republik Federal Jerman Arif Havas Oegroseno, Direktur Perdagangan, Komoditas, dan Kekayaan Intelektual Direktorat Jenderal Kerja Sama Internasional Kementerian Luar Negeri Hari Prabowo, serta Direktur Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Prof Nuri Andawani. Bertindak sebagai moderator adalah Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Tofan Mahdi.
Webinar itu digelar terutama untuk merespons adanya imbauan yang dinilai menyesatkan tentang sawit dan produk sawit oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Hal itu tertuang dalam sebuah infografis bertajuk ”Nutrition Advice for Adults During Covid-19”. Imbauan itu diterbitkan Kantor Regional WHO Mediterania Timur edisi 7 Mei 2020.
Dalam infografis itu, WHO menganjurkan masyarakat khususnya orang dewasa untuk tidak mengonsumsi makanan yang mengandung saturated fats (lemak jenuh) seperti minyak sawit dan minyak kelapa. Anjuran itu kemudian dihapus setelah Pemerintah RI mengirimkan nota diplomatik keberatan kepada pihak WHO baik di Jakarta maupun di kantor pusat WHO di Geneva.
Havas mengingatkan, perubahan itu—setelah protes RI terhadap WHO—tidak menjadi jaminan keberhasilan langkah serupa di lembaga internasional lain. Hal itu sekaligus menandai bahwa kampanye-kampanye antisawit juga menyebar di lembaga-lembaga lain dengan dukungan dana yang besar.
Mengikuti dan bertugas dalam diplomasi di Eropa, khususnya terkait sawit sejak tahun 2010, Havas menilai sudah saatnya langkah RI dilakukan secara terstruktur dengan dana yang mencukupi.
”Jangan hanya bersifat reaktif, bertindak layaknya pemadam kebakaran semata. Langkah-langkah kita harus dengan aneka kalibrasi dan dilakukan secara agresif juga cerdas,” kata Havas.
Ibarat sebuah perang, pertarungan itu dilakukan di level domestik maupun internasional. Kampanye investasi hingga lobi secara politik di luar negeri pun sudah selayaknya dilakukan.
Kampanye secara proaktif dan reguler, menurut Havas, sejauh ini masih terkendala beberapa hal. Ia menyebutkan paling krusial adalah urusan dana. Kerja sama pemerintah dan industri sawit didorong untuk dapat mewujudkan hal itu. Mengacu pada pengalaman organisasi-organisasi lain, mereka mempunyai perwakilan dengan aneka kegiatan reguler di beberapa negara atau tempat strategis.
Diingatkan bahwa gerakan antisawit itu berdana besar. Ia menyebutkan sebuah lembaga asal Perancis, misalnya, digelontor dana kegiatan 75 juta dollar AS per tahun. Dengan dana itu, mereka dapat menggelar kampanye di beberapa tempat, seperti sekolah, bisnis, hingga lembaga atau forum internasional.
”Mereka memiliki jangka waktu panjang. Kita pun harus memikirkan langkah strategis dalam jangka panjang pula,” kata Havas.
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono menyatakan, industriawan di sektor kelapa sawit adalah yang paling merasakan efek dari kampanye antisawit. Ia menilai perlu kekuatan lebih besar dan terstruktur untuk melawan gerakan-gerakan antisawit. Menurut dia, saat ini gerakan antisawit itu semakin besar dan cenderung tidak berimbang dengan upaya dukungan atas sektor itu secara langsung maupun tidak langsung.
”Isu deforestrasi itu relatif baru, paling lama delapan tahun terakhir, demikian juga dengan isu kesehatan. Penilaian sawit juga terkait aktivitas pelanggaran HAM itu baru dua tahun ada. Artinya, gerakan untuk antilebih progresif dibanding yang mendukung,” kata Joko seraya menyatakan beberapa bank Eropa, AS, dan belakangan Jepang tidak bersedia memberikan kredit bagi para pelaku industri sawit.
Hari Prabowo menyatakan, Kemlu RI telah bergerak cepat terkait temuan dalam infografis WHO baru-baru ini. Infografis itu dikeluarkan dalam sebuah media oleh kantor perwakilan regional WHO di kawasan Mediterania Timur pada 25 April. Wilayahnya antara lain mencakup Timur Tegah, Afrika Utara, Yunani, dan Italia.
Kawasan-kawasan itu adalah kawasan kompetitor kelapa sawit. ”Hari Senin (27/4/2020) kita langsung mengeluarkan nota diplomatik keberatan ke WHO melalui WHO Indonesia. Kemlu juga kirimkan kawat di perwakilan RI di Geneva untuk kirim keberatan ke kantor pusat WHO,” kata Hari. (Benny D Koestanto)
Sumber: Kompas.id