Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar minyak. Padahal, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang cukup banyak yang bisa dimanfaatkan.
Pekan lalu, pihak perwakilan Jepang menyatakan minat untuk mengimpor lebih banyak cangkang kelapa sawit dari Indonesia. Limbah hasil kebun sawit ini bisa dipakai sebagai sumber energi pembangkit listrik tenaga biomassa. Padahal, tak hanya cangkangnya, turunan produk minyak sawit juga menjadi bahan bakar nabati.
Indonesia adalah produsen terbesar minyak sawit (CPO) di dunia. Data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia menunjukkan, produksi CPO Indonesia di 2019 sebanyak 47 juta ton. Angka itu naik dari 2018 yang sebanyak 43,1 juta ton dan 38,1 juta ton di 2017.
Terlepas dari kontroversi perkebunan sawit, tanaman jenis ini, berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan banyak manfaat di sektor energi. Potensi tersebut bisa jadi peluang bagi Indonesia untuk memperkuat ketahanan energi di dalam negeri. Berdasarkan manfaatnya, produk kelapa sawit bisa dimanfaatkan untuk sumber energi pembangkit listrik maupun bahan bakar minyak (BBM) untuk kendaraan.
Pemanfaatan untuk bahan bakar sudah berjalan sejak 2006 oleh PT Pertamina (Persero). Biodiesel yang merupakan produk turunan CPO dijadikan bahan campuran bahan bakar dengan solar murni. Sampai saat ini, kadar campuran naik menjadi 30 persen untuk biodiesel dan 70 persen solar murni yang namanya dikenal sebagai B-30. Pemerintah saat ini tengah menguji coba B-40.
Tak hanya itu, Pertamina pun sedang meneliti dan mengembangkan potensi pemanfaatan CPO untuk bahan bakar avtur dan gasolin (bensin). Untuk gasoil (solar), beberapa waktu lalu sudah diuji coba ke kendaraan dengan menempuh jarak 200 kilometer. Bahan bakar dari olahan CPO tersebut dinamai green diesel (D-100) yang diproduksi di kilang Dumai, Riau, dengan kapasitas 1.000 barel per hari.
Tentu hal ini merupakan kabar baik bagi Indonesia yang sebagian kebutuhan energinya, khususnya BBM, masih harus diimpor. Pada 2019, Indonesia mengimpor minyak mentah sebanyak 87 juta barel dan 128,4 juta barel BBM. Impor tersebut untuk memenuhi kebutuhan konsumsi BBM nasional yang mencapai 1,5 juta barel per hari. Dari total kebutuhan itu, 700.000 barel dipenuhi dari dalam negeri.
Apalagi, industri hulu migas Indonesia tengah lesu selama pandemi Covid-19. Produksi minyak dari lapangan migas di Indonesia turun sehingga berpotensi membuat angka impor minyak mentah dan BBM membengkak di masa mendatang. Di sisi lain, sementara ini belum ada penemuan cadangan migas baru berskala besar di Indonesia.
Untuk ketenagalistrikan, pemanfaatan biomassa sebagai sumber energi pembangkit listrik di Indonesia belum optimal. Indonesia untuk urusan pembangkitan tenaga listrik masih sangat bergantung pada batubara. Batubara berperan hingga 60 persen dalam bauran energi pembangkit listrik di dalam negeri. Sementara sumber energi terbarukan berperan sekitar 12 persen yang terdiri dari banyak jenis, yaitu tenaga hidro, bayu, surya, dan panas bumi.
Kembali ke soal potensi, yang dibutuhkan sekarang ini untuk pengembangan produk turunan CPO adalah meningkatkan penelitian dan pengembangan. Apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh, tak menutup kemungkinan CPO menjadi sumber energi baru yang benar-benar dominan di masa mendatang, khususnya di Indonesia. Apalagi, program B-30 sudah berjalan. CPO sudah terbukti mampu mengurangi peran minyak bumi.
Catatan lainnya adalah bagaimana potensi tersebut benar-benar dioptimalkan untuk kepentingan di dalam negeri. Berkaca dari sejarah, Indonesia yang kaya sumber daya alam minyak dan gas bumi pernah terlena dengan menjadikan sumber daya tersebut sebagai komoditas untuk mengumpulkan devisa. Lupa bahwa modal tersebut seharusnya digunakan untuk menggerakkan ekonomi di dalam negeri.
Yang tak boleh dilupakan, bagaimana usaha pengembangan produk turunan sawit sebagai sumber energi tersebut sekaligus dapat memakmurkan para petani sawit di Indonesia. (Aris Prasetyo)
Sumber: Kompas