JAKARTA, investor.id- Metodologi dan terminologi yang digunakan untuk mendefinisikan deforestasi di ranah global berbeda dengan skala nasional sehingga dapat menghasilkan data yang rancu dan mendorong interpretasi keliru terhadap sebuah informasi yang dipublikasikan. Data global semestinya tidak digunakan untuk level di bawahnya atau dikenal dengan multistage monitoring system. Data Global tidak dapat melihat secara lebih akurat.
Selain itu, terdapat perbedaan istilah serta tidak dijelaskan duduk perkara dari kondisi lapangan maupun metodologinya data global sehingga kerapkali menimbulkan kerancuan dan perbedaan interpretasi. Hal ini disampaikan Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Belinda Arunawati Margono dalam seminar online #INApalmoil Talkshow bertajuk “Palm oil and Neocolonialism Agenda” yang diadakan oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) pada Rabu (15/7/20).
“Data yang digunakan pada skala global tidak dapat digunakan secara langsung dikarenakan metodologi sistem pemantauan level atau skala tertentu yang tidak dapat disamakan pada skala yang berbeda. Jika pemantauan dilakukan secara global, dibutuhkan kalibrasi data dan informasi untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada pada skala nasional,” ungkap Belinda.
Salah satu data global yang digunakan untuk men-judge Indonesia adalah data yang baru-baru ini dirilis Global Forest Watch (GFW) yang merupakan data dari global land analysis and discovery, University of Marryland menyebutkan Indonesia berada pada posisi 10 teratas dengan laju deforestasi tertinggi. Dengan menggunakan informasi tutupan lahan, GFW mengkategorikan hutan primer sebagai area dengan kerapatan tutupan pohon minimum 30%.
“Metode yang digunakan adalah metode biophysical sehingga tidak dapat membedakan jenis hutan secara umum. Sensor dari citra satelit yang digunakan tidak dapat mengetahui apakah hutan yang dipantau adalah savanah, hutan kerdil ataupun lumut. Bahkan hutan tanam dan alam diidentifikasi sebagai hutan yang sama,” tegas Belinda.
Misinterpretasi informasi ini menimbulkan dampak kerugian pada berbagai sektor di Indonesia, salah satunya industri kelapa sawit. Kerap kalo tudingan deforestasi di Indonesia terjadi akibat pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Padahal Guru Besar Institute Pertanian Bogor (IPB) Yanto Santosa mengutip data Matthew pada tahun 1983 menyebutkan periode 1600 – 1980 merupakan awal mula deforestasi hutan dunia yang mencapai 701 juta ha yang terdiri dari hutan non tropis seluas 653 juta ha dan hutan tropis 48 juta ha.
Lebih lanjut, Yanto menyebut, puncak deforestasi di Indonesia adalah periode 1950-1985 dan 1985-2000 dimana ekspansi lahan untuk kelapa sawit hanya 1 juta dan 3 juta hektar dalam periode yang sama. Selain itu, dalam Penelitian Petrus Gunarso, Konversi lahan perkebunan sawit di Indonesia bermula dari penanaman kelapa sawit pada lahan yang terlebih dahulu terdegradrasi akibat kegiatan industri lain seperti kegiatan penebangan dan karet. Data yang disampaikan oleh Yanto Santosa (2018) mengungkapkan 22% lahan sawit berasal dari hutan sekunder dan 72% berasal dari semak belukar, rawa, lahan terbuka, bekas perkebunan lain, bahkan dari bekas lokasi penambangan.
Fakta menarik lainnya, awal pendirian perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara pada tahun 1863 dilakukan di area perkebunan tembakau yang kala itu pembukaan lahan dilakukan oleh negara eropa karena tembakau merupakan komoditas utama di pasar Eropa. Ironisnya, saat ini Uni Eropa mengkategorikan kelapa sawit sebagai penyebab deforestasi utama dalam kebijakan Renewable Energy Directive II (RED) yang mengakibatkan terjadinya hambatan perdagangan bagi industri kelapa sawit ke Eropa.
Sumber: Investor.id