InfoSAWIT, JAKARTA – Merujuk hasil identifikasi KLHK, luas areal Karhutla pada tahun 2019 lalu terjadi di areal seluas 1,64 juta ha meliputi 1,15 juta ha, atau sekitar 70% di tanah mineral dan 0,49 juta ha atau sebanyak 30% terjadi di areal lahan gambut. Sementara berdasarkan tutupan lahan, kebakaran di Perkebunan (Pk) terjadi pada areal seluas 159.678 Ha (10% dari total luas areal terbakar 2019).
Lantas, berdasarkan hasil monitoring dan analisis dinamika atmosfer, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi pada 2020 tidak terindikasi akan terjadinya El Nino atau La Nina kuat.
Musim kemarau tahun 2020 secara umum diprediksi lebih basah dari musim kemarau tahun 2019, meskipun demikian perlu diwaspadai 30% ZOM yang diprediksi akan mengalami kemarau lebih kering dari normalnya. Puncak Musim Kemarau di sebagian besar daerah zona musim diprediksi akan terjadi di bulan Agustus 2020.
Ketua Bidang Sustainability Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Bambang Dwilaksono, berharap kejadian hotspot pada Juli-Oktober 2020 tidak terjadi seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun demikian, karena disamping faktor alam, kebakaran juga disebabkan oleh faktor manusia, hendaknya kesiapan sarana dan prasarana, serta engagement dengan masyarakat sekitar kebun tetap dilaksanakan.
Guna mengantisipasi kejadian Karhutla tersebut, kata Bambang, pada Mei 2020, GAPKI pun telah menerbitkan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Karhutla di Perkebunan Kelapa Sawit untuk mengantisipasi datangnya musim kemarau 2020 serta kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang selalu menyertai.
“Pedoman ini mencakup, persiapan dan pencegahan; pengendalian dan pemadaman, serta pasca kebakaran,” katanya dalam webinar yang diadakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) yang diikuti InfoSAWIT, Selasa (25/8/2020).
Hanya saja selama pandemic Covid-19, upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan pun dihadapkan pada situasi yang cukup sulit, lantaran keterbatasan interaksi sehingga berpotensi menyebabkan rendahnya pelaksanaan program kerjasama dengan masyarakat lokal dalam penanganan Karhutla.
Selain itu kata Bambang, Peraturan Perundangan yang ada yang membolehkan pembakaran dengan alasan kearifan lokal – bila tidak ada monitoring yg efektif – berpotensi memicu terjadinya kebakaran. “belum lagai lahan perkebunan umumnya di remote area dengan sistem komunikasi dan transportasi yang terbatas,” kata Bambang. (T2)
Sumber : Infosawit