Dari sedikit perusahaan yang punya kinerja moncer di tengah pandemi Covid-19, salah satunya adalah PT Astra Agro Lestari Tbk. Pendapatan dan laba bersih perusahaan perkebunan kelapa sawit itu sama-sama menunjukkan pertumbuhan.
Berdasarkan laporan keuangan perseroan, pendapatan bersih emiten berkode saham AALI itu tercatat sebesar Rp9,1 triliun pada semester I/2020. Angka ini naik 6,5% ketimbang torehan Rp8,5 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Dari segi laba bersih, angka Rp391,9 miliar yang ditorehkan AALI melambung hingga 796% secara tahunan, dari hanya Rp43,71 miliar pada semester I/2019.
“Kenaikan pendapatan dan laba bersih terutama ditopang oleh harga jual rata-rata CPO,” tutur Presiden Direktur AALI Santosa dalam konferensi pers, Kamis (27/8).
Perseroan mencatat harga rata-rata crude palm oil (CPO) selama semester I/2020, berkisar Rp8.109 per kilogram (kg). Angka ini naik 25,9% dibandingkan dengan harga rata-rata 2019, yang sebesar Rp6.441 per kg.
Meski ditopang kenaikan harga CPO, bukan berarti perusahaan cuma berpangku tangan. Kata Santosa, keberhasilan memanfaatkan momentum kenaikan harga itu juga dipicu reaksi cepat terhadap pandemi Covid-19.
Sejak kasus terkonfirmasi pertama diumumkan di Indonesia pada awal Maret 2020, AALI menerapkan protokol kesehatan dan pembatasan sosial dengan ketat. Akses keluar masuk perkebunan juga diawasi dengan sungguh-sungguh, sehingga operasional tak mengalami hambatan sama sekali.
“Selama pandemi, operasional di perkebunan kami berjalan normal tanpa kendala. Kami sudah menyiapkan perlengkapan dan keperluan lengkap untuk meminimalisir penyebaran virus,” terangnya.
Di samping itu, AALI juga tercatat melakukan upaya efisiensi. Mereka menekan beban pokok pendapatan menjadi Rp7,8 triliun, lebih kecil Rp19,8 miliar dari biaya pokok semester I/2019.
Namun, di sisi produksi, Astra Agro Lestari memproduksi total 0,71 juta ton CPO sepanjang 6 bulan pertama tahun ini. Angka ini turun 15,2% ketimbang produksi periode yang sama tahun sebelumnya.
Produksi dan pembelian Tandan Buah Segar (TBS) juga masing-masing terpangkas 8,1% dan 27,1%.
Lepas dari kenaikan pendapatan, penurunan inilah yang disorot Santosa dan bakal dibenahi perusahaan pada paruh kedua 2020. Santoso optimistis AALI dapat membukukan kinerja yang jauh lebih baik pada sisa tahun ini.
Kepercayaan diri Santosa juga didukung berbagai faktor. Salah satunya adalah relaksasi pembatasan sosial.
“Dari Juli. sudah ada kecenderungan pemulihan produksi. Selain itu, tenaga kami juga lebih fokus. Pada semester pertama, kami lebih banyak melakukan replanting,” tuturnya.
Replanting adalah proses mengganti tanaman kelapa sawit yang sudah tidak produktif lagi, umumnya berusia di atas 25 tahun, dengan yang lebih baru.
Dari target replanting 5.500 hektare (ha), perusahaan sudah berhasil merampungkan 4.633 ha. Sehingga, pada paruh kedua 2020, tenaga bisa lebih difokuskan untuk produksi.
Faktor lain yang membuat perusahaan di bawah Grup Astra ini yakin dengan adanya peningkatan kinerja adalah tren harga sawit yang lagi-lagi diperkirakan makin membaik pada semester kedua.
Bukan cuma didukung membaiknya permintaan global akibat relaksasi pembatasan sosial, prediksi itu juga muncul seiring pengamatan terhadap tren-tren tahun sebelumnya.
“Memang harga sempat mengalami tekanan menjelang akhir semester pertama . Tetapi, ini wajar apabila melihat tren-tren sebelumnya. Biasanya, harga akan mengalami lonjakan pada sekitar Agustus ke September. Dan ini akan bertahan lama sampai Januari,” ungkap Santosa.
Enggan Jemawa
Meski demikian, perusahaan juga tak akan gegabah. Pada semester II/2020, AALI berencana memangkas anggaran belanja modal atau capital expenditure (capex).
Langkah ini ditujukan sebagai mitigasi kalau-kalau harga CPO melenceng dari perkiraan perusahaan. “Supaya kalau ternyata keadaan memburuk, likuiditas dan kas kami cukup untuk mendanai operasional,” sambung Santosa.
Belanja modal hanya dianggarkan untuk tanaman yang belum menghasilkan karena biaya pemeliharaan dan perawatan yang sudah dikapitalisasi. Adapun, posisi kas perseroan per 30 Juni 2020, adalah Rp1,15 triliun.
Anggaran untuk keperluan itu ditaksir berkisar Rp700 miliar—Rp750 miliar. Ditambah dengan ongkos perawatan pabrik, pelabuhan, dan infrastruktur yang relatif lebih ringan, AALI memproyeksi capex pada akhir tahun ini berada di posisi Rp1 triliun. Angka ini lebih kecil dibandingkan target awal yang sebesar Rp1,3 triliun.
Sayangnya, kendati menorehkan kinerja keuangan bagus, performa saham AALI sepanjang semester I/2020 terbilang lesu. Pada perdagangan, Jumat (28/8), saham AALI ditutup di posisi Rp10.125.
Posisi ini melemah dibandingkan penutupan hari sebelumnya, yang berada di level Rp10.025 per saham. Secara year-to-date (ytd), saham AALI sudah turun 27,98%.
Analis Ellen May sekaligus pendiri Ellen May Institute, dalam publikasi riset 13 Agustus 2020 menyebut investasi saham AALI kurang menarik untuk investasi jangka panjang. Saham tersebut lebih cocok untuk trading jangka pendek.
Sebab, AALI merupakan saham yang berada di sektor agrikultur yang tergolong cyclical, di mana pendapatan perusahaan sangat terpengaruh dengan siklus bisnis yang terjadi.
Hal senada diutarakan analis Mirae Asset Sekuritas Andy Wibowo Gunawan. Menurutnya, untuk saat ini, harga berbagai komoditas mulai dari emas, batu bara, atau bahkan CPO belum menunjukkan prospek jangka panjang meyakinkan.
“Biasanya dalam 2—3 bulan pergerakannya akan sangat fluktuatif. Jadi memang untuk jangka panjang masih berisiko,” tuturnya kepada Bisnis, Kamis (27/8).
Andy menilai AALI dan emiten-emiten CPO lain bukan pilihan yang buruk. Dia memperkirakan harga CPO rata-rata tahun ini akan berada di level 2.500 ringgit Malaysia per ton, naik 16,3% ketimbang proyeksi sebelumnya.
“Kami masih menilai overweight terhadap emiten-emiten di sektor CPO. Selain AALI, yang juga kami rekomendasikan adalah saham LSIP,” ujar Andy. (Herdanang Ahmad F)
Sumber: Bisnis Indonesia