Jakarta – Bagi sejumlah pihak antisawit, pernyataan terkait “Perkebunan kelapa sawit merusak hutan dan lingkungan” sepertinya sudah melekat dan menjadi paradigma dan pedoman untuk melumpuhkan kelapa sawit. Diserang, difitnah, dan dituduh dari berbagai aspek terutama lingkungan, kehadiran kelapa sawit di pasar domestik dan global tetap selalu dibutuhkan dan diharapkan.
Kelapa sawit dituduh sebagai driver utama deforestasi dan kebakaran hutan yang berdampak pada hilangnya biodiversitas otentik asli Indonesia. Isu tetaplah isu, semua yang dituduhkan tersebut tidak didasar pada fakta dan data empiris hasil riset. Mengutip laporan Palm Oil Indonesia, mematahkan pernyataan dan isu-isu negatif tersebut, berikut sejumlah fakta kelapa sawit terkait aspek lingkungan yang diperoleh dari hasil penelitian.
1. Perkebunan sawit bukan penyebab deforestasi
Berdasarkan hasil kajian Fahmudin dan Gunarso (2019) terkait asal muasal perkebunan kelapa sawit Indonesia diketahui bahwa selama periode 1990-2018, sebanyak 23 persen perkebunan sawit di Indonesia berasal dari lahan pertanian (agroforestry). Kawasan ex-logging yang banyak ditemukan di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi berubah menjadi lahan semak belukar yang tidak produktif dan kemudian dimanfaatkan oleh Pemerintah Orde Baru melalui program transmigrasi salah satunya menjadi perkebunan sawit.
2. Perkebunan sawit bukan penyebab kekeringan
Tidak hanya dituduh sebagai penyebab hilangnya unsur hara, kelapa sawit juga difitnah sebagai tanaman yang boros dalam penggunaan air sehingga menyebabkan kekeringan. Kendati demikian, hasil penelitian Coster (1938) menyatakan bahwa tingkat evapotranspirasi yang menunjukkan kebutuhan air pada kebun sawit lebih rendah dibandingkan dengan bambu, lamtoro, akasia, sengon, pinus, dan karet.
3. Perkebunan sawit bukan penyebab tanah tandus
Kehadiran kelapa sawit sebagai salah satu mukjizat dari Tuhan sejatinya berperan dalam konservasi tanah dan tidak mengakibatkan tanah menjadi tandus. Justru sebaliknya, banyak penelitian yang membuktikan bahwa biomassa pada kebun sawit memiliki peran penting dalam meningkatkan kesuburan tanah.
4. Perkebunan sawit bukan penyebab hilangnya biodiversitas hutan
Sejak awal pembangunan, berdasarkan UU 41/1999 tentang Kehutanan, Indonesia sudah mengklasifikasikan hutan yang dapat dikonversi (deforestable/hutan konservasi) dan hutan yang harus dipertahankan (non-deforestable/hutan lindung) dengan proporsi mencapai 44 persen dari total hutan Indonesia.
Proporsi yang relatif tinggi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki hutan/lahan dengan stok karbon tinggi (HCS) yang cukup besar dan nilai konservasi tinggi (HCV) sebagai habitat alami flora dan fauna endemik Indonesia. Tidak hanya itu, pengembangan kebun sawit di beberapa provinsi sentra justru juga meningkatkan jumlah spesies biodiversitas seperti herpetofauna dan kupu-kupu.
5.Perkebunan sawit bukan penyebab kebakaran hutan
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia, baik provinsi dengan komoditas unggulan kelapa sawit maupun komoditas pertanian lainnya. Data Global Forest Watch (2019) menunjukkan bahwa sekitar 68 persen titik api ternyata berada di luar konsesi kelapa sawit.
Sementara itu, titik api di konsesi industri sawit relatif sedikit yakni hanya sebesar 11 persen, atau lebih sedikit dibandingkan dengan titik api yang ada di konsesi industri pulpwood (16 persen). Sebagai upaya mitigasi dan preventif terhadap kasus karhutla, pelaku industri perkebunan kelapa sawit bekerja sama dengan Dinas Kebakaran, TNI-POLRI, BNPB/BPBD, Desa Peduli Api, dan SATGAS perusahaan lain untuk mencegah timbulnya titik api pada lahan perkebunan kelapa sawit atau lahan sekitarnya.
Berbekal fakta-fakta tersebut, sudah seharusnya pihak-pihak antisawit menyadari betul kekhilafan dan kesalahannya atas tuduhan dan fitnah yang dilontarkan terhadap kelapa sawit. Sejatinya, pihak-pihak tersebut merenungkan, akan seperti apa nantinya masyarakat dan Indonesia jika komoditas potensial dan multimanfaat seperti kelapa sawit terus diserang dan dijatuhkan. (Ellisa Agri)
Sumber: Warta Ekonomi