Suara.com – Kelapa sawit merupakan komoditas strategis nasional dengan tingkat urgensi yang tinggi bagi perekonomian domestik dan global.
Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat luas tutupan lahan sawit Indonesia pada 2019 mencapai 16,38 juta hektar dengan 41 persen dari total luas lahan tersebut dikuasai oleh rakyat melalui Perkebunan Rakyat (PR), baik swadaya maupun plasma.
Dengan keberadaan lahan tersebut, Indonesia mampu memproduksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) rata-rata sebanyak 45 juta ton per tahun.
“Tidak hanya itu, lebih dari 65 persen dari kebutuhan minyak sawit dunia saat ini ditopang dari hasil produksi CPO dari Indonesia,” ujar Direktur Kemitraan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Kementerian Keuangan, Edi Wibowo dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (23/11/2020).
Dalam kurun waktu hampir satu dekade terakhir, menurut Edi, komoditas kelapa sawit telah menjelma menjadi penyumbang devisa ekspor terbesar nasional, bahkan telah memberikan kontribusi tertinggi pada tahun 2017 dengan sumbangan devisa mencapai 22,9 miliar dolar AS.
Dengan nilai sekitar Rp 320 triliun tersebut, diketahui bahwa lebih dari 10 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bersumber dari industry kelapa sawit.
Namun disisi lain kata dia, maraknya atribut negatif yang dilekatkan terhadap kelapa sawit tentu sebagai akibat dari isu-isu yang tidak berdasarkan fakta objektif. Dampak dari penyebaran isu tersebut yakni munculnya persepsi negatif masyarakat baik secara domestik maupun global.
Guna melawan kampanye negatif tersebut di atas, BPDPKS berinisiatif untuk menggandeng ekosistem pendidikan nasional untuk turut berperan dalam upaya meluruskan fakta-fakta obyektif tentang sawit di masyarakat.
“Karena itu, BPDPKS mencoba menggandeng kalangan guru untuk ikut berperan dalam meluruskan pemahaman masyarakat tentang industri sawit nasional. Dimulai sejak dini melalui anak didiknya,” tutur Edi.
“Indonesia juga ingin melakukan transformasi besar. Menjadi komitmen Indonesia untuk menuju ekonomi lebih hijau dan berkelanjutan. Geliat pemulihan ekonomi tidak boleh lagi mengabaikan perlindungan terhadap lingkungan,” jelasnya.
Menurut Presiden, saat ini adalah momentum untuk mendorong ekonomi hijau. World Economic Forum menyebut bahwa potensi ekonomi hijau sangat besar, di mana terdapat peluang bisnis sebesar 10,1 triliun dolar AS dan 395 juta lapangan pekerjaan baru hingga tahun 2030.
Di Indonesia sendiri berbagai terobosan telah dilakukan, antara lain memanfaatkan biodiesel B-30, menguji coba green diesel D100 dari bahan kelapa sawit dan menyerap lebih dari 1 juta ton sawit produksi petani, serta memasang ratusan ribu Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di sektor rumah tangga.
“Proyek ini akan menciptakan puluhan ribu lapangan kerja baru sekaligus berkontribusi pada pengembangan energi masa depan,” katanya. (Dwi Bowo R)
Sumber: Suara.com