JAKARTA – Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengusulkan kepada pemerintah untuk menghapus ambang batas harga (threshold) CPO dalam melakukan pungutan ekspor (PE). Penghapusan threshold tersebut akan di-anti dengan mekanisme pungutan ekspor yang sebelumnya pernah diberlakukan.
“Saya merekomendasikan kepada pemerintah untuk kembali ke mekanisme pungutan ekspor sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 81 Tahun 2018, di mana tidak terdapat threshold harga untuk melakukan pungutan. Besarnya tarifnya bersifat spesifik, yakni setiap dolar per ton, dan diterapkan secara progresif mulai dari produk hilir ke hulu,” kata Analis Kebijakan Ahli Muda Bidang Ekspor BP3 Kemendag Immanuel Lingga dalam diseminasi hasil penelitian BPPP Kemendag secara daring, Selasa (9/2).
Lingga meyakini, pungutan ekspor CPO dapat mendorong perkembangan industri hilir sawit dalam negeri. Pasalnya, setiap kenaikan US$ 1 pungutan ekspor akan meningkatkan ekspor produk turunan sawit ke dunia hingga 0,32%.
“Penemuan ini berdasarkan penelitian yang dilakukan pada Februari saat harga sawit belum melampaui US$ 570 per ton,” ujar dia.
Pada saat itu, menurut Lingga, dalam Permenkeu Nomor 136 Tahun 2019, pemerintah baru bisa melakukan pungutan ekspor apabila harga CPO menyentuh atau di atas rata-rata US$ 570 per ton. Dalam PMK 81/2018, pemerintah menetapkan tarif pungutan dana perkebunan atas ekspor kelapa sawit berupa produk CPO (1511.10.00) dan CPOK (1513.21.10) sebesar US$ 50/ton.
Lingga mengatakan, terdapat opsi kedua, yakni pemerintah tetap menggunakan threshold harga seperti saat ini, tetapi perlu adanya perubahan nilai pungutan ekspor ketika harga CPO di bawah threshold guna menjaga daya saing industri dalam negeri. “Besaran pungutan ekspor berkisar US$ 5-10 per ton,” ujar dia.
Menurut Lingga, kebijakan pungutan ekspor CPO juga berkorelasi negatif dengan harga tandan buah segar (TBS). Semakin tinggi nilai pungutan, harga TBS akan semakin tertekan. Setiap kenaikan pungutan sebesar US$ 1 akan menekan harga TBS sebesar 0,26%. Sementara itu, kebijakan pungutan ekspor CPO berkorelasi negatif dengan volume ekspor CPO Indonesia ke Malaysia. Setiap kenaikan pungutan US$ 1 akan menurunkan volume ekspor CPO Indonesia ke Malaysia sebesar 2,2%.
Menurut Lingga, hal itu akan membuat industri kelapa sawit Indonesia lebih berdaya saing. “Dengan pungutan ekspor, ada kesetaraan antara daya saing industri Indonesia dan Malaysia. Karena Malaysia juga cukup mengandalkan bahan baku dari Indonesia. Namun cost industri mereka rendah, yang didukung oleh infrastruktur yang baik dan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM), sehingga ketika mereka punya suplai CPO yang baik, daya saing mereka juga baik,” kata Lingga. (sny)
Sumber : Investor Daily