Direktur Utama PT Astra Agro Lestari Tbk, Santosa mengatakan bahwa kenaikan harga CPO sejak akhir 2020 tidak sepenuhnya dapat dinikmati pelaku usaha. Oleh karena itu, perseroan tetap berhati-hati karena pasar masih diliputi ketidakastian.
Pasalnya, papar Santosa, kinerja perseroan sangat bergantung pada cuaca dan dinamika pasar sesuai dengan pasokan dan permintaan.
“Tingginya harga saat ini juga ada dampak berganda karena bea keluaran jadi sangat tinggi ,” ujar Santosa kepada Bisnis, belum lama ini.
Tahun ini, perusahaan memacu produksi guna mengganti kinerja produksi pada 2020. Dia menargetkan pertumbuhan CPO pada tahun ini sekitar 5%. Tahun ini, [produksi] naik at least 5% karena kami juga ada replanting sekitar 5.000 hekatare tahun ini di kebun inti,” katanya.
Kenaikan produksi secara signifikan berasal dari produksi diluar kebun inti perseroan. Dia mengakui pembatasan social akibat pandemi Covid-19 menjadi penahan kontribusi produksi luar kebun inti.
SVP Communications and Public Affairs Astra Agro Lestari, Tofan Mahdi mengatakan bahwa kinerja keuangan perseroan tahun lalu berhasil didukung kenaikan harga jual rata-rata minyak sawit mentah.
Pada 2020 entitas Grup Astra itu mencetak kenaikan harga jual rata-rata CPO perseroan naik 27,8% secara tahunan, yakni menjadi kisaran Rp 8.548 per kilogram (kg) dari Rp 6.689 per kg pada 2019.
“Kami siap pada harga berapa pun tetapi kami berharap harga CPO akan berada pada leve yang kondusif dan mendukung profotabilitas dan pertumbuhan usaha,” ujar Tofan.
Untuk tahun ini AALI akan focus pada menjaga operasional perkebunan dengan menerapkan protokol Kesehatan yang ketat,” katanya.
Berdasarkan laporan keuangan perseroan pada 2020, AALI membukukan laba yang dapat diantribusikan kepada pemilik perusahaan sebesar Rp 833,09 miliar, naik 294,61% secara tahunan dari Rp 211,1 miliar.
Kenaikan laba tersebut didukung pertumbuhan pendapatan menjadi Rp 18,8 triliun, tumbuh 7,76% dari pendapatan 2019 sebesar Rp17,45 triliun.
Pendorong Utama
Analis JP Morgan, Jeffrey Ng dalam hasil risetnya mengatakan harga minyak sawit pada 2021 menjadi pendorong prospek kinerja perusahaan. Menurutnya, masa terburuk bagi AALI telah lewat sejak kuartal I/2019.
Pada kuartal IV/2020 perusahaan mampu merealisasikan pertumbuhan laba bersih 661% secara tahuanan sehingga realisasi pertumbuhan yang dicapai sepanjang tahun menyentuh 226%.
“Kami menetapkan sikap overweight pada AALI karena kami berharap perusahaan mendapat manfaat dari harga CPO yang lebih tinggi pada 2021 akibat sensivitas yang lebih besar terhadap dengan harga CPO dibandingkan dengan rivalnya.”
Analis MNC Sekuritas Catherine Vinchetia mengatakan harga CPO masih memberikan sinyal hijau dengan rekor harga tertinggi dalam 10 tahun yakni menyentuh 4.060 ringgit per ton.
Dalam risetnya dia menyebutkan harga CPO masih mampu terus menguat akibat pengaruh La Nina yang diperkirakan berlangsung hingga Juni.
“Secara fundamental performa AALI, produktifitas dan profitabilitas lebih baik tetapi pergerakan harga sahamnya lebih lambat kerana kapitalisasi pasarnya yang lebih besar dibandingkan dnegan emiten sawit lainna,” katanya.
Analis Samuel Sekuritas Indonesia , Yosua Zisokhi mengatakan kinerja perusahaan 2021 moncer akibat kenaikan harga CPO dengan rata-rata harga 3.000 ringgit per ton.
Dengan produksi CPO perusahaan yang naik 6,7% secara tahunan, perusahaan juga bisa merelisasikan pertumbuhan margin laba bersih 5,7% secara tahunan. Yosua menetaptkan target harga Rp 14.750 untuk AALI yang mencerminkan 9 kali proyeksi (EV/EBITDA) pada 2021, berdasarkan nilai rata-rata EV/EBITDA dalam 5 tahunan.
“Risikonya berasal dari Fluktuasi harga CPO dan minyak nabati yang mengurangi harga jual rata-rata begitu pula regulasi pemerintah terkait dengan ekspor dan biodiesel,” katanya dalam hasil risetnya. (Finna Ulia)
Sumber: Bisnis Indonesia