Indonesia percaya diri menghadapi kebijakan antisawit yang masih marak di pasar global, termasuk diskriminasi oleh Uni Eropa (UE). Alasannya, dengan daya saing yang tinggi maka posisi sawit Indonesia di pasar internasional tidak perlu dikhawatirkan. Pelaku usaha sawit nasional juga mampu beradaptasi terhadap tuntutan keberlanjutan di pasar luar negeri melalui berbagai sertifikasi, baik sertifikasi yang dimiliki oleh pasar seperti Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) maupun negara yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan menjelaskan, posisi sawit Indonesia di pasar global tidak perlu dikhawatirkan karena daya saing yang tinggi yang dimiliki oleh komoditas sawit nasional. Pelaku usaha sawit di Indonesia juga mampu beradaptasi melalui berbagai sertifikasi, mulai dari RSPO hingga ISPO. “Indonesia juga memiliki leverage tinggi serta pasar terbesar di Asean. Dengan menguasai setengah dari populasi di wilayah Asean menjadikan Indonesia sebagai regional leader sehingga mampu mempengaruhi perekonomian dunia. Hal ini menjadi bargaining power dalam perundingan bilateral maupun multilateral (termasuk perundingan terkait sawit),” ujar Fadhil.
Saat ini, perundingan dengan UE terkait sawit terus berlangsung, baik antarnegara maupun tingkat kawasan. Indonesia maupun UE juga mendorong kerja sama dilakukan secara bilateral maupun multilateral. Fadhil menyoroti pendekatan diplomasi trade and sustainable development (TSD) yang digunakan dalam perundingan, penting untuk meninjau kembali perjanjian perdagangan agar mengakomodir seluruh kepentingan kedua belah pihak, terutama pada perjanjian Comperhensive Economic Partnership Agreement (CEPA). Hal itu guna menghindari regulasi lain di luar yang telah diatur dalam CEPA karena akan menjadi hambatan dagang lainnya.
Pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menuturkan, pasar di Indonesia merupakan kekuatan di Asean. Namun, kerja sama bilateral patut untuk didorong lebih jauh karena kepentingan masing-masing negara di Asean pada akhirnya bisa mengecilkan kekuatan dan kepentingan negara.
Di tengah transisi menuju energi terbarukan, UE terus mendiskriminasi sawit. Dengan dalih mencapai nol emisi karbon pada 2030, sawit sering didiskreditkan sebagai minyak nabati yang tidak ramah lingkungan, padahal sawit merupakan minyak nabati paling sustainable dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dunia di masa yang akan datang. Kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II yang merupakan bagian dari green deal policy melalui skema indirect Land Use Change (ILUC) mengecualikan sawit karena dianggap berisiko tinggi menyebabkan deforestasi, meski penelitian Union of Concervation of Nature (IUCN) menyatakan sawit sembilan kali lebih efisien dalam penggunaan lahan. Cut of date yang ditetapkan dalam ILUC yakni tahun 2008 dinilai tidak fair.
Negara-negara di benua biru tersebut telah terlebih dahulu melakukan deforestasi masif di era revolusi industri. Penelitian Roser (2012) bahkan menyebutkan deforestasi yang dilakukan di Eropa kemudian Amerika Utara menyebabkan penurunan luas hutan dunia secara signifikan termasuk biodiversity loss di dalamnya. Menanggapi hal itu, Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia telah mengajukan gugatan kebijakan itu ke World Trade Organization (WTO) yang dianggap mendiskreditkan komoditas sawit. “Seluruh minyak nabati di dunia harus memiliki standar pendekatan yang sama dan di-akui PBB yakni dengan berbasis Sustainable Development Goals (SDGs), bukan satu atau dua indikator yang dikarang-karang, tidak diakui dunia dan tidak akademis,” ujar Wakil Mentri Luar Negeri Mahendra Siregar dalam diskusi INAPalmOil bertajuk Strategic Partnership EU-Asean dan Implikasinya terhadap Industri Minyak Sawit yang diselenggarakan Gapki, pekan lalu.
Sedangkan Duta Besar UE untuk Indonesia Vincent Piket mengungkapkan, Komisi UE sedang meninjau ulang kebijakan RED II dan hasilnya akan dipublikasikan Juni tahun ini. Hal itu dilakukan dengan melakukan penelitian ilmiah yang ektensif khususnya untuk komoditas minyak sawit sebagai bagian dari Green Deal. Vincent meyakinkan bahwa dampak terhadap industri minyak sawit ataupun minyak nabati lainnya akan didasarkan pada penilaian yang adil berbasis ilmiah. Kebijakan RED II merupakan hasil amendemen dari kebijakan sebelumnya yang memiliki kriteria keberlanjutan yang salah satunya mengatur perhitungan emisi gas rumah kaca pada perubahan penggunaan lahan secara langsung. “Tidak akan ada pelarangan impor minyak sawit atau biofuel. Tidak sekarang, tidak pada 2023 bahkan di 2030,” ujar Vincent.
Mahendra sebelumnya juga mengatakan, terkait diskriminasi sawit oleh UE, Pemerintah Indonesia menuntut keadilan dalam konteks sustainable vegetable oil (SVO), seharusnya penekanan standardisasi diberlakukan menyeluruh untuk seluruh minyak nabati yang sama atau yang kompeptitif, juga pendekatan lingkungan hidup yang lebih holistik. “Masalah lingkungan bukan hanya deforestasi walau deforestasi juga penting. Laju deforestasi di Indonesia sendiri menurun secara signifikan salah satunya didukung oleh keberhasilan instruksi presiden (inpres) tentang moratorium perizinan sawit,” ujar Mahendra. (Ridho Syukra)
Sumber: Investor.id