Tak bisa dipungkiri kalau semula, sawit, layaknya Soybean, Rapeseed dan Sunflower, telah mengambilalih hutan untuk tempatnya bertumbuh.
Namun tak bisa dipungkiri pula, jika dari empat tanaman ini, sawit justru mengambil hutan paling sedikit, hanya 24 juta hektar.
Dibilang hanya, itu lantaran pembandingnya adalah Soybean yang mengambil lahan mencapai 127 juta hektar, Rapeseed 35,5 juta hektar dan Sunflower 27,6 juta hektar.
Walau mengambil lahan paling kecil, tapi dari penelitian banyak ilmuwan dunia, sawit justru menjadi tanaman yang paling pandai membalas jasa di antara empat sekawan ini.
Robert Henson, seorang ahli ekofisiologi asal Oklahoma City, Amerika Serikat menyebut bahwa tiap hektar sawit mampu menyerap 64 ton karbondioksida dan menghasilkan 18,7 ton oksiden.
Angka ini lebih tinggi dari kemampuan satu hektar hutan alam yang hanya bisa menyerap 42,4 ton karbon dioksida dan menghasilkan 7,1 ton oksigen.
“Artinya, karbondioksida yang banyak bertebaran di kota, telah diserap oleh sawit dan kemudian diganti dengan oksigen yang banyak,” cerita Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), DR. Tungkot Sipayung saat berbincang dengan Gatra.com, kemarin. Sabtu pekan lalu, Tungkot juga menyampaikan apa yang dia ceritakan ini pada webinar Palm O’corner, yang digelar oleh Keluarga Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (KMSEP) Universitas Gadjah Mada. Atase Perdagangan RI di Tiongkok, Marina Novira, nimbrung di acara itu.
Lantas soal serapan tiga rekan sawit tadi, secara langsung kata Tungkot memang belum ada hasil penelitiannya. Namun proxy terdekat adalah ratio produktivitas atau protas minyak (prinsip biologi).
“Misalnya protas minyak sawit 4,3 ton perhektar, sementara Soybean hanya 0,45 ton. Ini berarti penyerapan CO2 kebun soybean adalah 0,1×64,5 ton CO2/ha= 6.4 ton CO2/ ha. Begitulah perbandingan hitungannya,” ujar lelaki 55 tahun ini.
Seiring waktu, peran sawit ternyata tak hanya sampai di situ. Setelah teknologi berkembang dan turunan produksi minyak nabati makin beragam, kebutuhan pun semakin tinggi.
PASPI memperkirakan, kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, kebutuhan menuju 2050 sekitar 260 juta ton. Tapi kalau ditambah dengan kebutuhan biofuel dan oleokimia, menuju 2050 bisa-bisa mencapai 500-600 juta ton!
Untuk memenuhi kebutuhan itu, produksi minyak nabati musti lebih digenjot lagi. Kalau misalnya dunia tanpa sawit kata Tungkot, luas hutan yang akan mengalami deforestasi masih akan mencapai 167 juta hektar lagi.
Soybean akan membabat paling besar; 112 juta hektar, Rapeseed 30 juta hektar dan Sunflower 25 juta hektar.
Namun kalau dengan sawit dan produktivitas sawit digenjot hingga dua kali lipat, maka deforestasi akan terhindarkan.
“Kenapa bisa begitu? Lantaran tiap hektar, sawit bisa menghasilkan 4,3 ton minyak. Sementara Rapeseed hanya 0,7 ton, Sunflower 0,52 ton dan Soybean 0,45 ton. Jadi kalau produktifitas minyak sawit digenjot menjadi 8,6 ton perhektar, maka sawit telah menjadi penyelamat tutupan hutan yang ada dan hanya sawit yang bisa digenjot produktifitasnya, tiga rekannya itu sudah mentok,” Tungkot memastikan. (Abdul Aziz)
Sumber: Gatra.com