Pelaku industri meyakini penjualan minyak sawit mentah atau CPO dan produk hilirnya ke luar negeri berpeluang untuk mencatatkan pertumbuhan pada tahun ini.
Adapun, data sementara Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa nilai ekspor minyak dan lemak nabati dengan kode HS 15 pada April 2021 turun 13,8% menjadi US$2,48 miliar. Penurunan nilai ini selaras dengan berkurangnya volume ekspor dari 2,93 juta ton pada Maret 2021 menjadi 2,44 juta ton pada April 2021.
Meski demikian, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati (GIMNI) Sahat Sinaga mengaku sangsi dengan data sementara otoritas statistic tersebut. Data yang dihimpun pelaku usaha justru memperlihatkan kenaikan ekspor CPO dan produk hilirnya pada April 2021.
“Saya perkirakan data BPS lebih merujuk ke minyak sawit menta yang memang mengalami penurunan,”kata Sahat, Kamis (20/5).
Data yang dihimpun asosiasi memperlihatkan bahwa kontribusi ekspor CPO atau minyak sawit mentah memang menurun dalam 4 bulan terakhir.
Pada Januari 2021, misalnya, total ekspor CPO dan produk hilirnya mencapai 2,9 juta ton dengan kontribusi CPO sebesar 24%. Jumlah tersebut perlahan turun menjadi hanya 11% pada April 2021 ketika total ekspor CPO dan turunannya mencapai 3,08 juta ton.
“Sejak ada PMK (Peraturan Menteri Keuangan) tentang pungutan ekspor, pengiriman memang lebih banyak dilakukan oleh produk hilir. Regulasi ini mendorong penghiliran dan datang pada saat yang tepat.” tuturnya.
Sahat juga meyakini permintaan terhadap minyak sawit tetap positif didorong oleh harga yang jauh kompetitif dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, seperti soy oil dan rapeseed oil yang selisihnya mencapai US$400 per ton. Prospek permintaan yang naik lanjutnya, juga akan diiringi dengan naiknya harga karena pasokan yang tetap ketat.
“Didalam negeri harga diperkirakan akan tetap diatas Rp 10.000 per kilogram. Penyebabnya, karena pandemi, sedangkan kebutuhan dunia tidak berkurang dan tetap besar.” Kata Dia.
Pasokan minyak sawot dari Malaysia pun dia Yakini akan berkurang karena terbatasnya mobilitas tenaga kerja di perkebunan sawit di negara tersebut. Produksi sawit di Malaysia diramal hanya berada diangka 18,1 juta ton sampai 18,5 juta ton setelah pada 2020 mencapai 19,7 juta ton.
Sementara itu, Sahat memperkirakan produksi minyak sawit Indonesia pada 2021 bakal mencapai 48,2 juta ton atau lebih tinggi ketimbang produksi2020 yang berjumlah 47,1 juta ton. Ekspor juga diprediksi naik menjadi 35,5 juta ton sampai 36 juta ton akibat harga yang tetap kompetitif dibandingkan dengan komoditas minyak nabati lainnya.
Ketua Umum Gabungan Pegusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono mengatakan kondisi dalam negeri bisa mempengaruhi kinerja ekspor pada periode tersebut.
“Perlu dilihat juga bagaimana kondisi pasar domestik. Kalau produksi turun dan stok rendah, ekspor bisa turun,” ujarnya. Adapun, laporan terakhir Gapki menunjukan stok CPO dan turunanya pada awal April berada diangka 3,20 juta ton. Volume ini lebih rendah dibandingkan dengan stok awal Maret yang mencapai 4,02juta ton.
Berkurangnya stok awal April dibandingkan dengan sebulan sebelumnya tak lepas dari naiknya ekspor bulanan pada Maret 2021 dibandingkan dengan Februari 2021.
Pada Februari 2021, Gapki mencatat total ekspor CPO dan turunannya hanya berjumlah 1,99 juta ton. Sementara itu, pada Maret 2021 volume ekspor menembus 3,24 juta ton.
Selain itu, kenaikan produksi di dalam negeri pada Maret juga lebih kecil daripada kenaikan ekspor dan konsumsi di dalam negeri. Produksi pada Maret hanya bertambah sekitar 633.000 ton, sementara konsumsi domestik naik mencapai 1,4 juta ton.
Joko menyoroti pula kondisi permintaan di negara tujuan. Menurutnya, kehadiran kebijakan pembatasan mobilitas sangat mempengaruhi kinerja ekspor .
“Perlu diingat juga faktor di negara tujuan, apakah ada lockdown atau tidak,” imbuhnya.
Sumber: Bisnis.com