Lebih dari satu dekade terakhir, industri kelapa sawit nasional telah mengadopsi komitmen konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem berupa High Conservation Value (HCV) atau Nilai Konservasi Tinggi (NKT) dan High Carbon Stock (HCS)/Stok Karbon Tinggi (SKT). Komitmen ini diperoleh baik yang dipersyaratkan oleh lembaga sertifikasi independen secara voluntary maupun pemenuhan peraturan dan sertifikasi nasional secara mandatory.
Hal ini diungkapkan Ketua Kompartemen Hubungan Stakeholder Gapki, Edi Suhardi, dalam webinar nasional dan live streaming bertajuk “Sawit Indonesia Berkelanjutan dan Semakin Ramah Lingkungan” yang diselenggarakan oleh Media Perkebunan, di Jakarta. Lebih lanjut dijelaskan Edi, perusahaan kelapa sawit membuat lebih banyak kemajuan dalam menurunkan laju deforestasi dibandingkan perusahaan dalam rantai pasokan sapi dan kedelai yang terus tertinggal.
“Ini artinya, industri kelapa sawit memiliki komitmen keberlanjutan yang yang lebih tinggi dibanding industri lainnya,” tegas Edi.
Tidak hanya itu, dikatakan Edi, industri kelapa sawit paling peduli dibandingkan industri lainnya dalam mencegah terjadinya kebakaran lahan. Hal tersebut tertuang dalam kewajiban pencegahan dan kelengkapan sarana prasarana perusahaan sawit yang jauh lebih tinggi, cenderung eksesif, seperti menara api, embung, dan lainnya.
“Kewajiban pecengahan perusahaan sawit bisa 50–70 persen lebih tinggi dari industri lain atau pemerintah, per hektarenya,” jelas Edi.
Terkait kesiapan industri perkebunan sawit dalam mencegah kebakaran lahan, dijelaskan Edi, terbagi menjadi dua bagian, yakni kesiapan internal dan kesiapan eksternal. Kesiapan internal seperti minimal 85 persen compliance sarana dan prasarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan. Hal tersebut sesuai dengan Permentan Nomor 5/2018. Sementara, kesiapan eksternal seperti Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) bersama masyarakat dan pemerintah desa serta adanya patroli oleh Masyarakat Peduli Api (MPA).
Sumber: Wartaekonomi.co.id