Indonesia memiliki kekayaan berupa minyak goreng bekas pemakaian atau minyak jelantah yang cukup melimpah. Sayang, minyak jelantah belum bisa dimanfaatkan dengan baik di tanah air.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) Sahat Sinaga menyebut, berdasarkan perkiraan GIMNI, jumlah minyak jelantah di Indonesia saat ini berkisar 18%–22% dari total pemakaian minyak goreng biasa. Jadi, jika pemakaian minyak goreng biasa berkisar 5,8 juta ton per tahun, maka volume minyak jelantah berkisar 1,1 juta ton per tahun.
Sumber minyak jelantah sebenarnya bermacam-macam. Ada yang dari bekas pemakaian rumah tangga, hotel, restoran, warung pinggir jalan, hingga pabrik. Banyak orang di Indonesia yang melakukan pembersihan minyak jelantah yang berwarna campuran hitam dan cokelat hingga menjadi berwarna bening.
Celakanya, tak sedikit pihak yang mengembalikan minyak jelantah kepada pedagang eceran dan pasar tradisional untuk dijual lagi ke masyarakat. Maklum, konsumsi minyak goreng di Indonesia cukup tinggi, terlebih banyak masyarakat yang gemar makan gorengan. “Minyak ini dipakai oleh pedagang-pedagang makanan pinggir jalan dan juga rumah tangga,” imbuh Sahat, Kamis (17/6).
Padahal, minyak jelantah mengandung sejumlah racun yang dapat mengancam keselamatan jiwa seseorang ketika dikonsumsi atau dipakai untuk menggoreng makanan. Alhasil, minyak jelantah jelas-jelas tak layak dijual sebagai produk konsumsi layaknya minyak goreng biasa.
Sahat berujar, tahun 2016 lalu GIMNI sudah membeberkan masalah ini kepada pemerintah. Bahkan, GIMNI juga sempat heran dengan pihak LSM dan Kementerian terkait kesehatan masyarakat yang belum menetapkan sikap dan posisinya terhadap minyak jelantah yang ternyata dikonsumsi sebagian masyarakat Indonesia.
“Selain kurang berkenan ditinjau dari segi kesehatan, tidak ada yang menjamin kehalalan produk minyak jelantah ini,” ungkap Sahat.
Beruntung, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah melarang peredaran minyak goreng curah eceran di pasar sejak awal tahun 2020. Minyak goreng curah ini rawan disalahgunakan lantaran bahannya bisa saja berasal dari minyak jelantah. Sahat pun menilai, perlu dibuat regulasi yang jelas dan hukuman yang tegas bagi penjual minyak jelantah untuk keperluan konsumsi.
Di sisi lain, sebagian minyak jelantah ternyata juga diekspor ke luar negeri. Meski tidak memiliki data resmi, GIMNI menyebut bahwa ekspor minyak jelantah dilakukan dalam volume yang besar. Yang terang, ekspor minyak jelantah tersebut dilakukan oleh eksportir yang bukan berasal dari perusahaan minyak kelapa sawit.
Wakil Ketua Umum III Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (GAPKI) Togar Sitanggang menyebut, dalam beberapa tahun terakhir ekspor minyak jelantah dilakukan ke berbagai negara, salah satunya kawasan Eropa yang ternyata punya minat tinggi terhadap komoditas tersebut. “Tujuan penggunaan minyak jelantah oleh mereka adalah untuk bahan baku biodiesel,” tutur dia, kemarin (16/6).
Fakta ini cukup mengejutkan. Sebab, di satu sisi Eropa menentang produk minyak kelapa sawit Indonesia sampai memboikotnya. Namun, di sisi lain Eropa justru mengimpor minyak jelantah dari Indonesia yang notabene produk tersebut adalah hasil pemakaian minyak kelapa sawit.
Sayangnya, di Indonesia sendiri minyak jelantah belum dimanfaatkan dengan baik, justru malah disalahgunakan oleh sebagian pihak. “Kebanyakan minyak jelantah Indonesia dipakai untuk dioplos dengan minyak goreng dan dijual ke masyarakat, bukan untuk keperluan biodiesel,” tandas Togar. (Dimas Andi)
Sumber: Kontan.co.id