Indonesia berpotensi menjadi penentu harga (price maker) sawit global karena posisinya sebagai produsen dan eksportir terbesar di dunia. Untuk bertahan sebagai produsen dan eksportir terbesar maka produksi sawit harus terus digenjot, salah satunya melalui peningkatan produktivitas kebun sawit rakyat (program peremajaan sawit rakyat/PSR). Dengan PSR, kebun sawit rakyat yang produktivitasnya masih di bawah 3 ton per hektare (ha) diharapkan melonjak menjadi 5-6 ton per ha.
Sekretaris Eksekutif I Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekononii Nasional (KPCPEN) Raden Pardede mengatakan, Indonesia merupakan produsen minyak sawit utama dan menguasai 55% pangsa pasar dunia. Karena itu, Indonesia bisa menjadi penentu harga sawit global. “Indonesia memiliki potensi sebagai price maker dalam industri sawit dunia, mengingat Indonesia adalah produser (produsen) dan eksportir sawit terbesar di dunia. Dengan menjadi price maker maka Indonesia bisa mengatur keseimbangan harga jual minyak sawit yang dapat memberikan efek positif bagi industri kelapa sawit dalam negeri pada umumnya dan bagi perkebunan sawit rakyat pada khususnya,” jelas Raden saat diskusi daring bertema PSR dan Peningkatan Industri Sawit Nasional, Rabu (30/6).
Saat ini, kata Raden, Indonesia hanya dengan memanfaatkan kurang lebih 10% dari total global landbank vegetable oil mampu menghasilkan 40% dari total minyak nabati dunia. Sawit dibandingkan komoditas minyak nabati lainnya mempunyai keunggulan antara lain produktivitas yang lebih tinggi sehingga luas lahan yang dibutuhkan untuk memproduksi minyak sawit jauh lebih sedikit. Untuk menghasilkan 1 ton minyak sawit hanya butuh lahan 0,30 ha, tapi untuk rapeseed oil perlu 1,30 ha, sunflower oil dan soybean oil masing-masing butuh 1,50 ha dan 2,20 ha. “Selain itu, saat sektor ekonomi lain terpuruk karena pandemi, industri sawit tidak terdampak karena kegiatan operasional perkebunan tetap beijalan normal, tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan ketat,” papar Raden.
Raden menjelaskan, potensi sebagai price maker itu sangat mungkin direalisasikan karena Indonesia punya peluang untuk menggenjot produksi lebih besar. Kelapa sawit adalah tanaman anugerah Tuhan di Indonesia mengingat sawit tidak tumbuh sembarangan, hanya tumbuh dan produktif di daerah dengan posisi 5 derajat di bawah dan 5 derajat di atas khatulistiwa dan Indonesia masuk di dalamnya. “Apalagi, pemerintah juga punya komitmen untuk meremajakan (replanting) 180 ribu ha kebun sawit rakyat tahun ini melalui PSR dan tahun-tahun berikutnya lebih tinggi lagi. Tujuannya adalah produktivitas sawit yang kurang dari 3-4 ton per ha karena umurnya sudah tua bisa ditingkatkan lagi produktivitasnya dengan bibit unggul dan penerapan good agricultural practices (GAP),” ungkap Raden.
Namun, kata Raden, keberhasilan PSR butuh kerja sama pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), petani, dan perbankan. “Keberhasilan PSR dapat mendorong pemulihan dan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan keija, dan penciptaaan devisa,” jelas Raden. Sektor pertanian pada kuartal IV-2020 tumbuh 2,59% dan pada kuartal 1-2021 tumbuh 2,95%, hal itu tidak lepas dari peran industri sawit. Komoditas sawit berkontribusi 3,50% terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional dan menyumbang 13% terhadap total ekspor nonmigas. Industri sawit juga menciptakan lapangan kerja bagi 16 juta orang dan di tengah kelesuan ekonomi harga sawit pada akhir Januari 2021 tembus di atas US$ 1.000 per ton dan ini berdampak positif ke harga tandan buah segar (TBS) sehingga tercatat sebagai penerimaan dari sisi perkebunan rakyat di daerah.
Deputi II Bidang Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud menjelaskan, sejak 2017 hingga akhir Juni 2021, pelaksanaan program PSRtelah menjangkau 233.314 hektare (ha) kebun rakyat dengan dana yang ter-salurkan sebanyak Rp 5,90 triliun. “Dana yang digunakan untuk PSR berasal dari pungutan ekspor (PE) yang dihimpun dan dikelola BPDPKS yang sebulan bisa terkumpul Rp 1,50-2 triliun dan dengan harga sawit yang tinggi akhir-akhir ini dana yang terkumpul mencapai Rp 3 triliun sebulannya,” jelas Musdhalifah. Selain untuk PSR, dana PE yang dihimpun BPDPKS juga untuk kegiatan promosi, peningkatan sumber daya manusia (SDM), dan insentif biodiesel.
Percepatan PSR
Sedangkan Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) HeruTri Widarto mengatakan, Kementan terus mendorong percepatan PSR, termasuk melakukan penyederhanaan persyaratan dari 14 syarat menjadi delapan syarat. “Masalah yang masih dihadapi dalam program PSR antara lain legalitas lahan, ada lahan petani yang masuk kawasan hutan dan pekeijaan rumah ini harus melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehu-tanan (KLHK) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/ BPN),” jelas dia.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, peremajaan sawit sudah biasa dilakukan, setiap 25 tahun perusahaan perkebunan wajib melakukan peremajaan berdasarkan skenario agar produksinya bisa berkelanjutan. “Perusahaan perkebunan sawit sudah lama melakukan peremajaan melalui skema inti-plasma dan PSR ini terinspirasi dari konsep intiplasma ini,” ujar dia. Kemitraan dibutuhkan dalam mempercepat PSR dan Gapki sudah mulai menawarkan kepada pekebun swadaya untuk mau bermitra, skema kemitraan ini dari yang paling sederhana dan yang paling kompleks tergantung kebutuhan dan permintaan. Prinsip kemitraan adalah perusahaan mau dan petani juga mau sehingga ada kesepakatan bersama tidak saling merugikan. (Ridho Syukra)
Sumber: Investor Daily