Malaysia sudah lama berkeinginan meremajakan alutsista jet tempurnya. Mirip Indonesia, karena anggaran terbatas maka salah satu opsi yang diambil adalah menggunakan barter dengan minyak sawit, walaupun rencana ini belum tentu disetujui negara pembuat pesawat tempur.
Wacana ini sudah bergulir dari dua tahun lalu. Dimana Menteri Pertahanan Malaysia Mohamad Sabu mengatakan diskusi pembayaran dengan minyak sawit sudah dilakukan bersama China, Rusia, India, Pakistan, Turki, dan Iran.
“Kalau mereka menerima barter dengan minyak sawit, kita bersedia menuju arah ke situ. Kita punya minyak sawit yang banyak,” jelasnya mengutip Reuters, Agustus 2019 lalu.
Belakangan kabar pembelian jet tempur yang akan dibarter dengan minyak sawit kembali mencuat. Media lokal Malaysia Free Malaysia Today, (16/7) menulis Malaysia sudah menerapkan mandatori 50% total biaya pembelian pesawat dalam bentuk barter dengan minyak sawit atau produk terkait lainnya, atau komoditas lain dan barang manufaktur.
Dalam dokumen yang bocor, tender terkait dengan perdagangan pasokan, pengiriman dan commissioning 18 unit light combat aircraft/fighter lead in trainer (LCA/FLIT) atau pesawat tempur ringan dan peralatan terkait ke angkatan udara royal Malaysia (RMAF).
Tender yang ditutup pada 22 September 2021, yang memuat skema penggunaan sisa dana untuk transfer teknologi, pengetahuan dan keterampilan, menyediakan akses pasar global, pengembangan lokal konten dan sumber daya manusia.
Menurut sumber industri kelapa sawit di Malaysia, langkah barter ini dapat ditafsirkan sebagai cara negara melawan lobi anti-sawit yang kuat di negara Uni Eropa.
Dari report yang diterbitkan website pertahanan Janes, pembelian pesawat adalah bagian dari rencana RMAF. Dimana pada 2018 membutuhkan pengadaan 36 pengadaan LCA/FLIT dalam dua fase.
Sebanyak 18 Pesawat akan dibeli mulai 2021 dan sisanya mulai 2025. Sebanyak 36 pesawat itu akan digunakan untuk melengkapi dua skuadron.
Dimana pesawat FLIT menggantikan armada latih Aermacchi MB – 339CM yang saat ini di grounded. Sementara LCA akan menggantikan 18 BAE System Hawk Mk 108 kursi ganda dan LCA kursi tunggal Mk 2018 yang beroperasi.
Rencana Malaysia belakangan condong pada jet tempur buatan India. Melansir, Financial Express (21/7), produsen pesawat Hindustan Aeronautics Limited (HAL) diharapkan menanggapi proposal permintaan (Request for Proprosal/RfP) dari Royal Malaysian Air Force (RMAF) atau Angkatan udara Malaysia, yang telah mengirimkan permintaan global untuk pesawat tempur ringan berbiaya rendah.
Hal ini juga sudah dikonfirmasi oleh seorang anonim perwira tinggi di India. “Perusahaan akan menanggapi RfP dari RMAF untuk Light Combat Aircraft (LCA) ‘Tejas’. Dan Itu harus dikirim pada akhir September (2021),” jelasnya.
Sebelumnya Direktur Utama Hindustan Aeronautics Limited R. Madhavan sudah membocorkan ada beberapa negara Asia Tenggara dan timur tengah yang menunjukkan minat pada pesawat tempur LCA ‘Tejas Mk 1A.
Pernah Mau Dicoba RI Tapi Belum Berhasil
Pada medio 2019, Kementerian Pertahanan (Kemhan) berencana melakukan barter hasil perkebunan dengan 11 pesawat tempur Sukhoi Su-35. Kontrak perdagangan ini senilai US$ 1,14 miliar atau setara dengan Rp 15,16 triliun (kurs Rp 13.300).
Pada waktu itu ada skema pakai uang imbal dagang 50 persen, artinya kita jual karet, kelapa sawit. Namun, karena ada ancaman sanksi dari AS, bila Indonesia membeli jet tempur Rusia, maka sampai saat ini rencana pembelian Su-35 menggantung.
Indonesia kini malah beralih pembelian pada Rafale Prancis, meski baru-baru ini pihak Rusia menegaskan bakal siap mengirim 11 unit jet tempur Su-35.
Sumber: cnbcindonesia.com