Tren deforestasi sudah mulai dilakukan negara-negara di dunia sejak masa pembangunan dahulu sebagai upaya meningkatkan ketersediaan pangan hingga pendapatan. Namun, data menunjukkan bahwa penyebab utama deforestasi global bukanlah pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, melainkan peternakan sapi.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Yanto Santosa mengemukakan, negara-negara di dunia sudah memanfaatkan sumber daya hutan untuk kepentingan ekonomi dan pembangunan. Hal inilah yang menyebabkan laju deforestasi terus meningkat selama periode pembangunan dan mulai turun setelah proses tersebut selesai.
”Turunnya deforestasi ini bisa karena dua kemungkinan. Pertama, karena memang sudah tidak lagi memanfaatkan sumber daya hutan. Kedua, hutan tersebut sudah habis,” ujarnya dalam diskusi daring terkait fakta laju deforestasi Indonesia, Rabu (8/9/2021).
Menurut Yanto, sejumlah ahli kehutanan asing menyatakan bahwa model pembangunan ekonomi yang ditempuh negara-negara di dunia berfokus pada pemanfaatan sumber daya alam untuk meningkatkan ketersediaan pangan, perumahan, dan pendapatan.
Gaung isu deforestasi dan penurunan keanekaragaman hayati di dunia semakin meningkat pada tahun 2000-an, baik oleh organisasi non-pemerintah maupun peneliti asing. Komisi Eropa pada 2013 mencatat, Amerika Selatan menjadi kawasan deforestasi tertinggi sepanjang periode 1990-2008 disusul Afrika, Asia Tenggara, dan kawasan lainnya.
Komisi Eropa juga menyebut bahwa pemicu deforestasi global, khususnya di kawasan Amerika Selatan, adalah penyediaan peternakan sapi seluas 58 juta hektar serta perluasan kebun kedelai dan jagung dengan total 20,9 juta hektar. Pemicu deforestasi lainnya adalah kebakaran, pembangunan infrastruktur, produksi kayu, dan sejumlah kegiatan pertanian.
Sementara kegiatan perluasan kebun sawit, menurut data Komisi Eropa, hanya berkontribusi 2,3 persen terhadap deforestasi dunia dengan luasan 5,5 juta hektar. Data ini sekaligus membantah isu sawit sebagai penyebab utama deforestasi.
”Jadi, cukup aneh tudingan deforestasi karena sawit yang diarahkan ke Indonesia. Padahal, sebenarnya kegiatan peternakan dan kebakaran di dunia yang membuat tutupan hutan menjadi habis,” kata Yanto.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ruandha Agung Sugardiman menyampaikan, dari hasil pemantauan tahun 2020, Indonesia masih memiliki total kawasan hutan primer, sekunder, dan tanaman seluas 95,6 juta hektar. Luasan hutan ini tercatat 50,9 persen dari total daratan Indonesia.
Hasil pemantauan juga menunjukkan angka deforestasi Indonesia relatif menurun pada beberapa periode terakhir. Luas deforestasi pada periode 2019-2020 tercatat 115.459 hektar atau turun 75 persen dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Dalam menghitung deforestasi ini, KLHK menggunakan peta rupa bumi Indonesia, data kawasan hutan, dan data penutupan lahan. Ketiga peta dan data tersebut diverifikasi dan ditumpangsusunkan, kemudian baru dipetakan perubahan tutupan hutannya.
Menurut Ruandha, penurunan deforestasi tersebut terjadi karena adanya penerapan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Upaya lainnya yang turut mendukung penurunan deforestasi ini adalah penegakan hukum, pengendalian kebakaran hutan lahan, perlindungan gambut, dan meningkatkan pengelolaan hutan lestari.
Selain itu, revisi Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) hutan alam primer dan lahan gambut periode pertama tahun 2021 menetapkan areal dilindungi seluas 66,18 juta hektar. Hasil revisi PIPPIB periode pertama 2021 menunjukkan luas kawasan hutan 51,23 juta hektar, lahan gambut 5,28 juta hektar, dan hutan alam primer 9,65 juta hektar.
”Upaya optimalisasi agar angka deforestasi kita tetap rendah adalah dengan memperhatikan kondisi penutupan hutan dan tren deforestasi, potensi PIPPIB, dan memonitor perizinan yang ada. Terpenting adalah Indonesia sudah memiliki komitmen secara internasional untuk mencapai net sink dari sektor kehutanan dan tata guna lahan pada 2030,” katanya.
Sumber: Kompas.id