JAKARTA – Pemerintah terus memprioritaskan perkebunan rakyat dalam pembangunan industri sawit nasional karena keberadaan dan perannya akan semakin dominan pada masa depan. Salah satu bentuk prioritas tersebut adalah dengan mendorong penguatan kemitraan antara perkebunan rakyat dalam hal ini petani sawit dengan perusahaan. Luas lahan perkebunan rakyat pada 2019 hanya 41 % dari total tutupan sawit nasional, namun para ahli memprediksi luasan perkebunan rakyat melebihi 50% pada 2030.
Berdasarkan hasil rekonsiliasi tutupan kelapa sawit nasional yang dikoordinasikan oleh Kemenko Perekonomian, pada 2019, terdapat 16,38 juta hektare (ha) tutupan sawit dengan distribusi luas kebun rakyat, baik swadaya maupun kemitraan, mencapai 6,72 juta ha (41%), perkebunan negara 0,98 juta ha (6%), dan perkebunan swasta 8,68 juta ha (53%). Para ahli memproyeksikan bahwa luas tutupan kelapa sawit didominasi oleh perkebunan rakyat pada 2030. “Data tersebut menggambarkan bahwa perkebunan rakyat makin memiliki kontribusi signifikan dalam perkembangan pembangunan kelapa sawit di Indonesia,” kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di Jakarta, Selasa (5/10).
Sebagai negara produsen sawit terbesar di dunia yang menguasai 55% pangsa pasar global, Indonesia mampu menghasilkan 40% dari total minyak nabati dunia. Ini karena keunggulan sawit dari minyak nabati lainnya yakni produktivitas lebih tinggi sehingga luas lahan yang digunakan lebih sedikit. Untuk menghasilkan 1 ton minyak sawit hanya butuh 0,30 ha lahan, padahal minyak bunga matahari butuh 1,30 ha. “Karena itu, untuk menjawab tantangan persaingan global yang semakin dinamis, pemerintah komit mendorong replanting dengan target 540 ribu ha, menerapkan sistem sertifikasi sawit berkelanjutan (ISPO) sebagai solusi utama, serta mengembangkan dan memperkuat pola kemitraan,” jelas Airlangga.
Lebih jauh Airlangga menjelaskan, industri kelapa sawit nasional termasuk di dalamnya perkebunan rakyat tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Sebab, industri sawit telah berhasil mengentaskan kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja bagi 16 juta orang, baik langsung maupun tidak langsung. Industri sawit juga berkontribusi terhadap ekspor nonmigas sebesar 15% pada 2020. Kontribusi itu diproyeksi semakin besar dengan kenaikan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Pada akhir Januari 2021, harga CPO telah melebihi US$ 1.000 per ton, meski terjadi fluktuasi tetapi pada Oktober ini telah mencapai US$ 1.196 per ton, bahkan harga tandan buah segar (TBS) menembus Rp 1.800-2.000 per kilogram (kg) yang merupakan harga tertinggi dalam sejarah.
Airlangga menuturkan, dengan kontribusi tersebut berarti kelapa sawit secara terus menerus telah menjadi tulang punggung perekonomian dan menjadi primadona komoditas ekspor. Karena perannya yang strategis tersebut maka industri sawit dan semua komponennya, termasuk perkebunan rakyat dalam hal ini petani sawit, terus dikembangkan dan dijaga keberlanjutannya. Untuk menjaga kestabilan harga misalnya, pemerintah terus mendorong permintaan domestik dari produk sawit melalui pengembangan biodiesel B30. “Ini untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak (BBM) impor, juga bagian dari kebijakan ekonomi berkelanjutan rendah karbon dan menurunkan emisi gas rumah kaca,” ujar Airlangga.
Dengan tutupan sawit seluas 16,38 juta ha diprediksi menyerap 2,20 miliar ton karbondioksida dari udara setiap tahun dan pemerintah terus mendukung program B30 yang mana pada 2021 target alokasi penyaluran 9,20 juta kiloliter. Program tersebut juga sudah sejalan dengan arah pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yakni peran sawit disepakati sebagai sumber energi bersih dan terbarukan dan mendukung ketahanan energi nasional, penyediaan pangan, dan pengentasan kemiskinan.
Keunggulan Kemitraan
Sementara itu, Muhammad Iqbal dari Kompartemen Pemberdayaan Masyarakat dan CSR Bidang Kemitraan dan Pembinaan Petani Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), mengatakan, program kemitraan sawit harus terus didorong demi kesejahteraan petani. Keunggulan kemitraan adalah peningkatan pendapatan karena hasil kebun dan kualitas buah meningkat, serta petani dapat bekerja sesuai kebutuhan. Lalu, meningkatkan kualitas tanaman karena menggunakan bibit unggul bersertifikat, tanaman dikelola dengan praktik agronomi terbaik, kemudian ada jaminan pembelian TBS dari perusahaan mitra.
Dengan kemitraan, kebun sawit dikelola profesional, terbuka peluang baru yang mana petani atau kerabatnya bisa bekerja di kebun, dan petani mempunyai waktu luang. Lalu, membentuk solidaritas, terjadi kolaborasi pengamanan kebun dan supervisi kebun menjadi lebih profesional. (Ridho Syukra)
Sumber: Investor Daily