Bisnis, JAKARTA — Saham emiten perkebunan kelapa sawit masuk ke zona hijau dan dinilai menjadi semakin menarik untuk dilirik investor di tengah tren kenaikan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
Berdasarkan data dari Bursa Malaysia, harga CPO untuk pertama kalinya mencatatkan kenaikan sampai menembus 5.000 ringgit per ton untuk pertama kalinya pada perdagangan Selasa (5/10) lalu.
Lantas, pada Rabu (6/10), harga CPO Malaysia untuk kontrak Oktober 2021 naik ke 5.067 ringgit dan bergerak di kisaran 5.019- 5.096.
Kepala Riset CGS-CIMB Securities Ivy Ng Lee Fang mengatakan bahwa rata-rata harga CPO naik di tengah kekhawatiran akan adanya pengetatan pasokan, sementara ekspor CPO diprediksi tetap menguat pada Oktober ini menjelang perayaan Diwah di India.
“Kami memproyeksikan harga CPO tetap kuat di kisaran 3.500 -4.500 per ton pada Oktober 2021. Kami tetap pada perkiraan rata-rata harga CPO kami di kisaran 3.700 ringgit, 2.900 ringgit, dan 2.800 ringgit per ton for 2021, 2022 and 2023 masingmasing,” ujamya, dilansir The Edge Markets, Rabu (6/10).
Seiring dengan tren kenaikan harga minyak kelapa sawit mentah ini, analis menilai sejumlah saham pada sektor perkebunan layak dicermati oleh para investor. Kenaikan CPO memang turut berimbas pada performa positif emiten-emiten perkebunan. Mayoritas saham emiten perkebunan sawit terpantau masuk ke zona hijau dalam perdagangan kemarin.
Head of Equity Trading MNC Sekuritas Medan Frankie Wijoyo Prasetio memaparkan, reli harga CPO menyusul tren serupa pada komoditas energi lain yaitu minyak, gas dan batu bara yang terus bullish.
Dia menjelaskan, CPO umumnya digunakan sebagai campuran bahan bakar, khususnya biodiesel yang digunakan untuk mengganti ataupun memperkecil porsi penggunaan minyak bumi sebagai pembangkit listrik.
“Peningkatan permintaan CPO juga dipicu oleh penurunan bea masuk India, yang awalnya 10% menjadi 2,5% guna penyesuaian akan daya beli masyarakat India akan produk-produk olahan CPO,” katanya saat dihubungi Bisnis, pada Rabu (6/10).
Dia mengatakan, tren kenaikan harga CPO akan menopang kenaikan kinerja keuangan emiten-emiten perkebunan. Pasalnya, hal tersebut akan turut mengerek naik harga jual rata-rata untuk CPO yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan.
Frankie memperkirakan untuk tahun 2022 permintaan terhadap CPO masih cukup dinamis. Hal ini mengingat jika harga komoditas energi utama lainnya mengalami penurunan, maka permintaan CPO bisa ikut berkurang.
Namun, bila produksi minyak nabati lain seperti kedelai mulai meningkat, diversifikasi penggunaan minyak nabati selain CPO, khususnya di India, akan terjadi.
“Di sisi lain, bila harga komoditas energi masih tren bullish sampai tahun depan, dan faktor cuaca yang menekan produksi minyak nabati lain seperti kedelai dan jagung, maka permintaan CPO akan tetap tinggi yang bakal menopang harganya,” jelas Frankie.
Dia melanjutkan, saham-saham di sektor sawit terbilang menarik hingga akhir tahun ini. Hal tersebut seiring dengan reli harga pada sektor ini mengikuti saham-saham di sektor batu bara yang sudah lebih dulu menguat.
Frankie memberikan rekomendasi beh untuk saham TBLA dengan target harga Rp1.000 dan SIMP pada level Rp600. Menurutnya, kedua saham tersebut masih cukup menarik dari sisi valuasi dan memiliki potensi upside yang baik.
“Untuk saham-saham sawit lain seperti LSIP dan DSNG saat ini sudah reli cukup tinggi. Investor bisa membelinya jika terjadi koreksi,” pungkasnya
Sementara itu, Analis Senior dari Asosiasi Analis Efek Indonesia Reza Priyambada mengungkapkan pergerakan harga CPO biasanya dipengaruhi oleh kenaikan permintaan yang ada atau adanya berita tentang oversupply.
Selain itu, juga dipengaruhi perkembangan kebijakan pemerintah baik di dalam maupun luar negeri. Dia mencontohkan larangan impor yang pernah disampaikan oleh Eropa menjadi sentimen negatif terhadap harga CPO.
“Kalau untuk CPO, penggeraknya biasanya terkait dengan permintaan yang ada, atau berita oversupply, dan juga kebijakan baik di dalam negeri maupun luar negeri,” kata Reza.
Kenaikan harga CPO ini, lanjut Reza, akan menjaga kinerja emiten-emiten perkebunan, ditambah lagi dengan kenaikan permintaan komoditas tersebut.
Dia pun merekomendasikan beberapa emiten perkebunan yang menarik yang bisa dikoleksi oleh investor karena marketnya yang besar dan harga sahamnya yang cenderung menguat. Beberapa emiten tersebut di antaranya, AALI, LSIP, SSMS, dan SIMP.
Terpisah, Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Universitas Indonesia Budi Frensidy menyampaikan, kenaikan harga CPO akan berdampak positif terhadap kinerja emiten-emiten perkebunan.
“Pengaruhnya tentu positif karena harga CPO menembus all time high sehingga laba bersih emiten perkebunan akan naik,” ungkap Budi.
Adapun, sentimen positif lain yang akan dirasakan oleh emiten perkebunan yaitu penurunan tarif pungutan ekspor CPO. Pada awal semester II/2021, pemerintah Indonesia merevisi tarif pungutan ekspor CPO Indonesia yang berlaku efektif sejak 2 Juli 2021.
Dalam peraturan terbaru tersebut, pemerintah menetapkan tarif pungutan ekspor CPO sebesar US$55 per ton jika harga CPO di bawah US$750 per ton.
Selanjutnya, tarif pungutan ekspor CPO akan meningkat sebesar US$20 per ton setiap kenaikan harga CPO sebesar US$50 per ton. Tarif pungutan akan mencapai level maksimal yaitu sebesar US$175 per ton jika harga CPO berada di atas level US$1,000 per ton.
Di sisi lain, Budi mengungkapkan bahwa kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) secara bertahap akan menjadi sentimen negatif bagi kinerja emiten-emiten perkebunan. Selain itu, peak season dari produksi kebun yang akan menaikkan suplai juga perlu diwaspadai oleh emiten perkebunan.
TAK ADA REVISI
Emiten perkebunan sawit PT Mahkota Group Tbk, (MGRO) menyatakan perseroan tidak akan melakukan revisi target produksi dan pendapatan akhir tahun kendati ada reli harga CPO.
Sekretaris Perusahaan Mahkota Group Elvi mengatakan, produksi CPO dan produk turunannya telah mencapai 406.881 ton hingga Agustus 2021. Jumlah tersebut naik 96% dibandingkan produksi pada Agustus 2020 sebesar 206.953 ton.
“Lonjakan produksi ini terjadi karena pabrik refinery kami telah beroperasi secara penuh,” katanya.
Elvi mengatakan, pihaknya tidak akan melakukan revisi target menyusul reli harga CPO yang terjadi belakangan ini. MGRO tetap menargetkan produksi CPO dan produk turunannya sebesar 522 ribu ton dan pendapatan sebesar Rp6 triliun.
Guna mencapai target tersebut, MGRO melakukan beberapa langkah, salah satunya dengan memperluas pasar ekspor. Selain itu, perusahaan juga terus menjaga pasokan bahan baku produksi serta mengoperasikan pabrik dengan kapasitas penuh.
Sebelumnya, Direktur Utama MGRO Usli Sarsi mengatakan, pihaknya menargetkan dapat membukukan penjualan sebesar Rp6 trihun pada akhir 2021 dengan margin sekitar 2,5%-5%.
MGRO juga menaigetkan kontribusi ekspor produk CPO di akhir tahun ini dapat mencapai 50% dari total penjualan. “Kami akan terus melanjutkan pengembangan sektor hilirisasi kelapa sawit dan mencari pasar ekspor baru,” jelasnya.
Usli memaparkan, pihaknya terns mencari ceruk pasar ekspor yang potensial untuk produk-produk hilir CPO seperti refined, bleached and deodorized palm oil (RBDPO) dan olein. Pasalnya, kehadiran kebijakan pengurangan bea ekspor untuk produk hilir sawit akan menguntungkan bagi margin MGRO.
Beberapa negara yang diper-timbangkan perusahaan adalah negara-negara berkembang dengan kebutuhan produk-produk CPO seperti Pakistan dan Sri Lanka.
Dia menambahkan, pihaknya belum melirik pasar Eropa mengingat beberapa isu terkait produk sawit yang dapat berimbas negatif bagi perusahaan.
“Kami juga sedang mencoba untuk memasuki pasar di China karena potensinya yang sangat besar,” imbuhnya.
Adapun, sejauh ini MGRO telah mengekspor produk-produknya ke sejumlah negara di kawasan Asia dan Afrika seperti Korea Selatan, Malaysia, Mesir, dan India.
Sementara itu, Emiten perkebunan PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) menargetkan produksi tandan buah segar (TBS) bisa tumbuh hingga 19% tahun ini.
“Kami optimistis TBS bisa tumbuh sampai 19 persen secara year on year. Tetapi, memang masih harus lihat cuaca dan pandemi yang terkontrol,” kata Direktur Keuangan Sampoerna Agro Heri Harjanto dalam paparan publik, Jumat (10/9). (Lorenzo A & Ika F)
Sumber: Bisnis Indonesia