JAKARTA – Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di pasar internasional diperkirakan stabil tinggi di atas US$ 1.000 per ton hingga tahun depan, setidaknya sampai akhir kuartal I-2022. Suplai yang cenderung masih berkurang akibat belum pulihnya produksi sawit terutama di Malaysia dan gangguan sistem transportasi akibat pandemi Covid-19 menjadi pendorong berlanjutnya kenaikan harga komoditas perkebunan tersebut.
Berdasarkan data Bank Dunia, rata-rata harga CPO global sepanjang Januari-Oktober 2021 telah mencapai US$ 1.190 per ton, jauh melebihi rata-rata harga CPO sepanjang 2020 yang hanya US$ 752 per ton dan 2019 yang sebesar US$ 601 per ton. Bank Dunia memproyeksikan, rata-rata harga CPO pada 2022 mencapai US$ 1.075 per ton. Sementara itu, di Bursa Rotterdam, rata-rata harga CPO pada 1-8 November 2021 bergerak pada kisaran US$ 1.390 per ton. Sedangkan rata-rata harga CPO di Bursa Komoditas Malaysia pada 1-9 November 2021 mencapai RM 4.928 per ton.
Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Bernard A Riedo mengatakan, sejak awal pandemi, pada 2020, harga CPO terus menguat bahkan berlanjut hingga tahun ini. Penyebab kenaikan itu sangat bervariasi, selain karena adanya permintaan yang tinggi, suplai yang cenderung berkurang karena penurunan pasokan produksi dari Malaysia, menjadi kombinasi pemicu naiknya harga CPO. Di sisi lain, adanya selisih harga di pasar minyak nabati dunia, yakni harga minyak kedelai jauh lebih tinggi, membuat minyak sawit menjadi opsi pilihan bagi negara konsumen sawit. “Penguatan harga tersebut belum akan berakhir tahun ini, kenaikan harga CPO akan terus berlanjut sampai pertengahan tahun depan dengan harga di atas US$ 1.000 per ton,” ujar Bernard.
Bernard menjelaskan, apabila harga CPO masih tinggi maka hal ini akan berdampak pada perolehan devisa negara dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kinerja ekspor sawit akan konsisten naik, ekspor sawit tahun ini bisa melebihi tahun 2020 apabila melihat permintaan yang cukup tinggi di beberapa negara tujuan ekspor. “Momentum kenaikan harga ini menjadi berkah luar biasa bagi industri sawit di tengah pandemi Covid-19. Kenaikan harga CPO ini sebenarnya tidak menjadi hal penting karena bisa saja turun drastis. Kami sebenarnya lebih memprioritaskan kestabilan harga CPO daripada kenaikan yang tinggi, takutnya harga jatuh dan pengusaha rugi,” ujar Bernard menjawab Investor Daily saat ditemui pada acara Apical Powered by Palm Oil di Jakarta, Rabu (10/11).
Wakil Ketua I Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) yang juga Direktur Eksekutif GIMNI Sahat M Sinaga menambahkan, saat ini, harga acuan CPO global, CIF Rotterdam, memang sedang tinggi. Kondisi pasar minyak nabati dan lemak (oils & fats) global tengah kekurangan pasokan akibat pandemi dan cuaca buruk. “Hukum ekonomi supply versus demand berlangsung. Pasokan oils & fats dunia sangat berkurang. Ini faktor utama short supply sehingga harga minyak sawit global naik pesat sejak Januari 2021,” kata dia seperti dilansir Antara. Kenaikan harga sawit masih akan terjadi, setidaknya hingga kuartal 1-2022, mengingat kedua faktor penghambat produksi minyak nabati yaitu pandemi Covid-19 dan cuaca buruk.
Sementara itu, ekonom dan pengamat pasar modal dari LBP Institute Lucky Bayu Purnomo mengatakan, harga CPO saat ini cenderung menguat karena harga komoditas lainnya, seperti emas, sedang mengalami kore-ksi. Pun dengan harga minyak mentah yang sempat mencapai level tertinggi US$ 85 per barel, pada minggu lalu turun menjadi US$ 79 per barel. Harga minyak mentah sudah pernah mencapai angka tertinggi. “Karena harga minyak dunia ini mengalami rebound maka menjadi pemicu kenaikan untuk komoditas lainnya, termasuk CPO. Kami memperkirakan harga CPO masih tetap menguat tahun depan, ini bisa menjadi momentum untuk men-dorong devisa negara,” kata Lucky
Di Luar Ekspektasi
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (Paspi) Tungkot Sipayung mengatakan, pemicu utama booming harga CPO saat ini adalah suplai yang makin terbatas akibat penurunan produksi yang teijadi di luar perkiraan. Di Malaysia, semula penurunan produksi diperkirakan hanya 500 ribu ton namun kenyataannya bisa lebih dari itu akibat kondisi iklim dan persoalan tenaga kerja untuk memanen. Di Indonesia, produksi CPO tahun ini bisa 52 juta ton dari tahun lalu yang hanya 4849 juta ton, namun Indonesia konsisten menjalankan program biodiesel 30% (B30) sehingga untuk biodiesel saja tahun ini sedikitnya menyerap 8 juta ton CPO. “Jadi, saat ini, suplai minyak sawit ke pasar dunia terganggu, ini yang membuat harga CPO meningkat,” ungkap Tungkot.
Gangguan produksi juga terjadi pada minyak nabati lain, baik minyak kedelai, bunga matahari, maupun rapeseed. Kini, di negara produsen kedelai, yakni Argentina dan negara-negara di Afrika Selatan, tengah kekeringan, demikian juga Eropa. Selain itu, akibat pandemi membuat aktivitas di negara-negara barat terhenti yang berdampak pada produksi minyak kedelai, bunga matahari, dan rapeseed, hingga kini belum normal. “Semua keterlambatan dan gangguan tersebut membuat rantai pasok global minyak nabati terganggu, ditambah sistem transportasi juga terganggu akibat pandemi. Inilah yang membuat harga CPO naik di luar perkiraan. Ini tidak hanya pada sawit tapi juga minyak nabati lain, juga minyak fosil, ini bekerja simultan membuat harga komoditas bergerak di luar ekspektasi,” jelas Tungkot.
Kondisi itu butuh waktu untuk kembali normal, hingga akhir kuartal 1-2022 gangguan tersebut belum sepenuhnya pulih. Artinya, kenaikan harga CPO yang teijadi saat ini akan berlanjut hingga awal 2022 atau setidaknya hingga kuartal 1-2022. “Awal tahun depan mungkin sudah ada recovery produksi sawit di Malaysia maupun minyak nabati lain, tapi harus diingat konsumsi minyak sawit domestik Indonesia juga meningkat, juga negara-negara subtropis yang din-gin. Artinya, harga tinggi di atas US$ 1.000 per ton masih berlanjut sampai awal tahun depan, cuma eskalasinya tidak gila-gilaan seperti saat ini,” ujar Tungkot. Rata-rata harga CPO tahun ini diperkirakan US$ 1.100 per ton dan tahun depan di kisaran US$ 950-1.000 per ton. Tahun depan, ekonomi mulai bangkit sehingga aktivitas ekonomi mulai pulih termasuk produksi minyak nabati, ini dengan asumsi tidak ada gelombang ketiga Covid-19. (Ridho S & Tri L)
Sumber: Investor Daily