Jakarta: Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan hilirisasi industri sawit berperan penting dalam menciptakan kemandirian energi melalui biodiesel. Bahkan, bisa menghemat devisa dan berdampak positif terhadap lingkungan.
“Program mandatori biodiesel ini juga konsisten dijalankan karena berdampak positif bagi perekonomian,” ucap Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika, dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 10 Maret 2022.
Sepanjang 2021, program B30 bermanfaat pada pengurangan impor BBM Diesel sebesar 9,02 juta kiloliter, yang berarti menghemat devisa sekitar USD4,54 miliar atau Rp64,45 triliun. Paling penting, program B30 mampu mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sekitar 24,4 juta ton setara karbon dioksida.
Putu menambahkan, hilirisasi industri berbasis kelapa sawit merupakan salah satu success story kebijakan pemerintah sejak 2007. Sektor ini ditetapkan sebagai program prioritas secara konsisten sampai 2022. Indikator pencapaian pelaksanaan program dapat ditinjau dari rasio ekspor bahan baku CPO/CPKO dengan produk olahan/hilir sawit.
“Pada 2007, rasionya adalah 60 persen dibandingkan dengan 40 persen, yang berarti ekspor masih didominasi produk mentah. Pencapaian tersebut terus berkembang sehingga pada 2016-2020, rasio ekspor produk hilir berada pada angka 20 persen berbanding 80 persen,” jelasnya.
Lebih jauh lagi, sambung dia, pencapaian 2021 meningkat menjadi 5,47 persen berbanding 94,53 persen. Hal ini menunjukkan kinerja industri pengolahan yang sangat masif dan didukung ketersediaan bahan baku.
Lebih lanjut, industri kelapa sawit dan turunannya merupakan investasi yang bersifat highly capital intensive dan berorientasi teknologi tinggi. Oleh karena itu, ketersediaan dan kemudahan akses bahan baku CPO atau minyak sawit mentah menjadi pertimbangan utama untuk menentukan penanaman modal di bidang industri hilir kelapa sawit.
“Begitu juga pelaksanaan peraturan pemerintah yang berlaku di sektor industri ini. Para pelaku usaha industri akan senantiasa menjalankan dan mematuhi seluruh aturan untuk menjaga keberlangsungan industri pengolahan kelapa sawit,” imbuhnya.
Saat ini, terdapat beragam jenis pelaku usaha industri hilir kelapa sawit dalam negeri, yaitu perusahaan domestik, perusahaan terbuka, perusahaan skala regional, hingga multinational company. Dengan demikian, pengawasan publik terhadap kepatuhan peraturan dan standar industri yang berlaku nasional, regional dan global, sehingga tercipta operasional industri yang transparan dan kredibel.
Ketua Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman menyampaikan, industri makanan dan minuman juga terus berkomitmen untuk menggunakan Minyak Goreng Sawit (MGS) yang sesuai dengan peruntukannya.
Ia mengakui bahwa industri makanan yang membutuhkan MGS sebagai bahan baku atau bahan penolong, seperti industri mi instan, industri makanan ringan, dan industri ikan dalam kaleng, membeli MGS dengan mekanisme Business to Business (B to B) dengan harga pasar.
“Khusus untuk industri makanan skala UMKM dan/atau IKM masih diperbolehkan membeli MGS dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) sesuai Pasal 4 ayat (2) Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan HET MGS,” tutup Adhi. (Husen Miftahudin)