JAKARTA. Industri pengolahan sawit berperan sangat penting dalam memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Hal ini merupakan tujuan kebijakan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah komoditas di dalam negeri.
“Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, Indonesia harus bisa menghentikan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) agar komoditas tersebut dapat diolah menjadi produk turunan yang bernilai tambah tinggi,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam siaran pers di situs Kemenperin, Kamis (10/3).
Menperin menegaskan, pihaknya bertekad untuk terus melakukan upaya pendalaman struktur industri manufaktur di Indonesia, yang salah satunya dipacu melalui kebijakan hilirisasi berbasis sektor primer. Selama ini, hilirisasi bermanfaat dalam meningkatkan nilai tambah terhadap perekonomian nasional, antara lain peningkatan investasi, penyerapan tenaga kerja, dan pertumbuhan industri manufaktur di dalam negeri.
Menurut Agus, dengan ketersediaan sumber daya alam yang berlimpah, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara eksportir berbagai produk berbasis agro, mineral, migas, dan batubara. “Di sektor industri agro misalnya, Indonesia berhasil melakukan hilirisasi CPO,” ucapnya.
Dalam kurun 10 tahun, porsi ekspor produk turunan kelapa sawit meningkat signifikan, dari 20% di tahun 2010 menjadi 80% pada 2020. Hal ini sesuai dengan target peta jalan pengembangan industri hilir kelapa sawit yang diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian No. 13 Tahun 2010
Bahkan, saat ini terdapat 168 jenis produk hilir CPO yang telah mampu diproduksi oleh industri di dalam dalam negeri untuk keperluan pangan, fitofarmaka/nutrisi, bahan kimia/oleokimia, hingga bahan bakar terbarukan/biodiesel FAME. Sementara pada tahun 2011, hanya ada 54 jenis produk hilir CPO.
Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika mengemukakan, selama ini industri pengolahan sawit merupakan salah satu sektor unggulan yang menopang perekonomian nasional. Kinerja ini dibuktikan antara lain melalui kontribusinya sebesar 17,6% terhadap total ekspor nonmigas pada tahun 2021.
Pada tahun 2020, nilai ekspor produk sawit sebesar US$ 19,89 miliar dan pada tahun 2021 nilai ekspor produk sawit naik sebesar 56,63% dari tahun sebelumnya. Selain itu, industri pengolahan sawit merupakan sektor padat karya yang telah menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 4,2 juta orang dan pekerja tidak langsung hingga 12 juta orang.
“Peran penting lainnya, industri sawit juga turut menciptakan kemandirian energi melalui biodiesel sehingga menghemat devisa dan berdampak positif terhadap lingkungan,” imbuh Putu.
Program mandatori biodiesel ini juga konsisten dijalankan karena berdampak positif bagi perekonomian. Sepanjang tahun 2021, program B30 bermanfaat pada pengurangan impor BBM diesel sebesar 9,02 juta kiloliter yang berarti menghemat devisa sekitar US$ 4,54 miliar atau Rp 64,45 trilliun. Yang lebih penting, program B30 mampu mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 24,4 juta ton setara CO2.
Putu menambahkan, hilirisasi industri berbasis kelapa sawit merupakan salah satu cerita sukses kebijakan pemerintah sejak tahun 2007. Sektor ini ditetapkan sebagai program prioritas secara konsisten sampai tahun 2022. Indikator pencapaian pelaksanaan program dapat ditinjau dari rasio ekspor bahan baku CPO/CPKO dengan produk olahan/hilir sawit.
“Pada tahun 2007, rasionya adalah 60% dibanding 40%, yang berarti ekspor masih didominasi produk mentah. Pencapaian tersebut terus berkembang sehingga pada tahun 2016-2020 rasio ekspor produk hilir berada pada angka 20% banding 80%. Lebih jauh lagi, pencapaian tahun 2021 meningkat menjadi 5,47% banding 94,53%. Hal ini menunjukkan kinerja industri pengolahan yang sangat masif dan didukung ketersediaan bahan baku,” paparnya.
Lebih lanjut, industri kelapa sawit dan turunannya merupakan investasi yang bersifat highly capital intensive dan berorientasi teknologi tinggi. Oleh karena itu, ketersediaan dan kemudahan akses bahan baku CPO atau minyak sawit mentah menjadi pertimbangan utama untuk menentukan penanaman modal di bidang industri hilir kelapa sawit.
“Begitu juga pelaksanaan peraturan pemerintah yang berlaku di sektor industri ini. Para pelaku usaha industri akan senantiasa menjalankan dan mematuhi seluruh aturan untuk menjaga keberlangsungan industri pengolahan kelapa sawit,” jelas Putu.
Saat ini, terdapat beragam jenis pelaku usaha industri hilir kelapa sawit dalam negeri, yaitu perusahaan domestik, perusahaan terbuka, perusahaan skala regional, hingga perusahaan multinasional. Dengan demikian, pengawasan publik terhadap kepatuhan peraturan dan standar industri yang berlaku nasional, regional dan global, sehingga tercipta operasional industri yang transpar dan kredibel.
Sementara itu, Ketua Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman menyampaikan, industri makanan dan minuman juga terus berkomitmen untuk menggunakan Minyak Goreng Sawit (MGS) yang sesuai dengan peruntukannya.
Lebih lanjut, Adhi menjelaskan industri makanan yang membutuhkan MGS sebagai bahan baku atau bahan penolong, seperti industri mi instan, industri makanan ringan, dan industri ikan dalam kaleng, membeli MGS dengan mekanisme Business to Business (B to B) dengan harga pasar. “Khusus untuk industri makanan skala UMKM dan/atau IKM masih diperbolehkan membeli MGS dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) sesuai Pasal 4 ayat (2) Permendag No. 6 Tahun 2022 tentang Penetapan HET MGS,” tandasnya. (Dimas Andi)
Sumber: KONTAN.CO.ID