Jakarta – Indonesia pernah masuk dalam jajaran produsen utama minyak fosil di dunia, bahkan pernah menjadi anggota OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries). Namun, PASPI mencatatkan, seiring dengan besarnya kebutuhan domestik yang tidak diimbangi dengan suplai domestik, menyebabkan Indonesia harus mengimpor minyak bumi.
Alhasil, Indonesia berganti status dari net eksportir minyak fosil menjadi net importir minyak fosil sejak tahun 2004 hingga saat ini.
Sejak saat itu, banyak negara di dunia, termasuk Indonesia semakin serius untuk mengalihkan sumber energinya dari minyak fosil ke Bahan Bakar Nabati (BBN). Setelah menghadapi lika-liku panjang dalam pengembangan BBN, Pemerintah Indonesia berhasil mengimplementasikan penggunaan BBN berbasis minyak sawit yaitu Biodiesel/FAME (Fatty Acid Methyl Ester).
“Indonesia juga berhasil masuk dalam Top-3 produsen biodiesel di dunia dan menorehkan rekor sebagai negara yang menggunakan blending rate tertinggi yakni 30% FAME dengan 70% solar fosil (B30) tahun 2020,” catat PASPI.
Prestasi lainnya dari implementasi biodiesel ialah Indonesia telah mampu mengurangi ketergantungan impor solar fosil cukup drastis.
Berdasarkan data yang dirangkum PASPI, pada tahun 2010, pangsa volume solar fosil impor sebesar 46% dari total konsumsi solar fosil domestik, kemudian mengalami penurunan menjadi di bawah 10% pada tahun 2020. Penurunan impor solar fosil tersebut juga secara langsung berdampak pada penghematan devisa.
“Belajar dari pengalaman tersebut, Indonesia dapat mempraktikkan program mandatori bensin sawit. Untuk mempercepat penurunan ketergantungan penggunaan bensin impor, program mandatori bensin sawit harus intensif dan progresif diimplementasikan misalnya dari tingkat pencampuran bensin sawit dengan bensin fosil dari G-10, ke G-20, dan G-50. Kuatnya komitmen seluruh stakeholder dan ditambah dengan dukungan publik, maka ketahanan energi nasional bukan suatu keniscayaan untuk dicapai Indonesia,” catat PASPI. (Ellisa Agri)
Sumber: Wartaekonomi.co.id